Illustrasi : orangefloat
Bulir-bulir
hujan bak Kristal jatuh menampar rimbunnya daun kemuning yang tumbuh di
depan jendela kamarku. Daun itu terayun-ayun bak tangan penari Bali yang
sedang memperagakan tarian pendet. Kutanamkan dalam pikiranku, apanya
yang membuatku takut dengan tetesan hujan yang tak berwarna dan tak
berujud itu? Mengapa hanya dengan tetesan kecil itu membuat ketakutan
dan juga gelisah tak karuan?
Setiap langit
mendung, resah itu menyelinap dalam hatiku, apalagi jika dibarengi
dengan suara petir berikut kilat yang mendampinginya. Aku semakin merasa
kecil, seolah aku sedang dipotret oleh Dia. Aku tak dapat
menyembunyikan apa-apa walau sekecil apapun! Ahhh… diri ini penuh dosa,
aku bisa membungkusnya dengan rapat di hadapan manusia biasa, tapi tidak
di depanMu.
Kuperhatikan,
hamparan putih pada pucuk-pucuk pohon kemuningku luruh satu persatu.
Nah… betulkan?Hujan tak hanya membuatku takut tapi juga merenggut bunga
kesayanganku yang seharusnya masih bermegah di tangkainya. Hilang sudah
aroma harum yang seharusnya menyebar masuk ke dalam kamarku. Aku lebih
menyukai harumnya bunga kemuning dari pada mawar atau melati.
Mataku masih
menatap di luar jendela, dari kejauhan kulihat segerombolan anak-anak
kecil dengan asyiknya bermandikan hujan. Aku iri dengan keberanian
mereka, sama sekali tak nampak ketakutan malah sebaliknya. Teriakan
mereka menandakan kalau hati mereka senang menyambut datangnya hujan.
Bergulingan sambil menendang bola tanpa menghiraukan tetesan hujan
menerpa bagian tubuhnya. Bocah-bocah itu bebas lahir batin, masih belum
ada beban yang menghimpit hati mereka.
Dulu, akupun
mungkin demikian! Kusebut mungkin, karena aku sama sekali tidak dapat
mengingat masa kecilku dengan sempurna. Setahuku dari kecil aku sudah
takut hujan. Berawal dari timbulnya bintik-bintik merah ke seluruh
tubuhku jika aku kehujanan. Rasa gatal yang sangat menyiksa, menyebar
pada seluruh bagian tubuhku termasuk telapak kaki dan tangan. Mukaku
bengkak bagai disengat ribuan lebah. Jika sudah demikian aku hanya bisa
meringis menahan derita, sambil menutupi seluruh tubuhku dengan selimut
tebal. Herannya, jika tubuhku terasa hangat, berangsur bentol-bentol itu
memudar dan hilang tak berbekas.
Ke dokter sudah
kujalani, dokter hanya memberikan sejenis bedak dan obat-obatan yang aku
sendiri tak tahu apa namanya. Kesimpulan dokter saat itu aku alergi,
dokter tentu lebih mengetahui masalah penyakit kan, jadi akupun
menganggap aku “ alergi”.
Seiring dengan
berjalannya waktu, saat ini walau alergi itu kadang masih ada tapi tidak
separah saat masa kecilku. Tapi akibatnya aku jadi seorang yang
membenci hujan, karena kuanggap hujan menghalangi aku untuk melakukan
banyak hal. Rasa iri yang mendera melihat teman-temanku dengan enaknya
bermain dengan hujan sambil tertawa gembira. Sedang aku harus menutup
rapat-rapat pintu dan jendela kamarku. Aku kehilangan masa-masa indah
yang seharusnya menjadi bagian dari hidupku saat ini.
Hujan juga
mengiringi kepergian orang yang kukasihi, orang yang paling menyayangiku
dengan kasih yang berlimpah. Yang sabar menyuapi sendok demi sendok
makanan ke dalam mulutku. Membujukku kala aku lagi menangis , siap
melindungiku dari hukuman kedua orang tuaku saat nakalku kambuh. Opa
pergi saat aku masih membutuhkan seseorang yang mengerti aku, dan hujan
pun ikut-ikutan menyertai kepergiannya. Ini juga alasan kedua mengapa
aku benci hujan! Karena hujan, aku tak dapat ikut mengiringi rombongan
yang membawa jasad Opa ke tempat peristirahatannya yang terkahir.
Kebencianku akan hujan
bertambah saat aku kehilanganmu, hujan menjadi saksi atas perlakuanmu
terhadapku. Tanpa mendengar bantahan dan penjelasanku kau keluarkan
ultimatum agar aku tak lagi menghubungimu. Di bawah derai hujan aku
berlari mengejarmu, mengharap belas kasihan dan meminta sedikit waktumu
untuk mendengarkan, ya…hanya mendengarkan saja! Tapi apa yang kudapat
membuatku shock, kau tuduh aku berdasarkan apa yang terlihat olehmu saat
itu, bukan mendengarkan hati nuranimu. Tahukan kau, apa yang terlihat oleh mata kita belum tentu sesuai dengan keadaan sesungguhnya?
Apakah salah
jika aku menerima tamu laki-laki yang sudah sekian tahun tidak
berjumpa? Apakah harus kutolak kedatangan sahabat masa kecilku ketika
aku sedang sendirian di rumah? Dan apakah aku yang mengundang hujan
hingga menyebabkan semua kejadian itu terlihat olehmu? Hilman sama
sekali tidak bersalah, dia sahabatku yang berusaha menolongku saat aku
terpeleset akibat tetesan hujan merembes di lantai ruang tamuku. Saat
dia memelukku, kau melihatnya sebagai perbuatan nista yang kulakukan di
belakangmu. Tak cukupkah kau menyakiti sahabatku dengan pukulan
bertubi-tubi pada wajah dan bagian lain tubuhnya? Mengapa tak kau
dengarkan teriakanku menghentikan ulahmu, bahkan dengan kasarnya kau
mendorong tubuhku hingga terjengkang tanpa peduli dengan kesakitanku.
Bertahun-tahun
kau hilang, dan aku memang tak dapat menemukanmu. Rasa mengganjal dalam
hati membuatku berusaha mencarimu untuk menjelaskan kejadian yang
sebenarnya, setelah itu terserah apa pun penilaianmu tentangku. Aku pun
tak ingin berharap banyak, cukup kau mengerti bahwa aku tak senista
seperti yang kau pikirkan. Aku cukup merasa aman dalam tempurung yang
kuciptakan sendiri, yang senantiasa melindungiku dari semua hal yang
tidak kusukai.
Baru saja aku
berniat meninggalkan jendela kamarku, mataku seolah nanar antara percaya
dan tidak. Wajah kuyub itu berdiri tegak di bawah guyuran hujan entah
sudah berapa lama. Lamunanku yang panjang membuatku sama sekali tidak
mengetahui kehadirannya. Ahhh… kau kembali , tunggulah aku akan
menghampirimu. Tanpa memikirkan kambuhnya alergiku aku berlari menerobos
hujan. Rentangan tanganmu membuatku percaya masih ada cinta untukku.
Aku merasakan kembali hangatnya pelukanmu dan untuk kali ini aku tidak
takut hujan!
Tuhan
mengembalikan kau padaku dengan caranya sendiri, ternyata kau bertemu
dengan Hilman tak sengaja di sebuah pertokoan di Surabaya. Hilman
menceritakan semua kejadian dulu setelah menghadiahkan engkau dua kali
tamparan atas kebodohan dan kedegilanmu saat itu. Kali ini hujan juga
yang mengiringi kau kembali.
*****
0 komentar:
Posting Komentar