Selasa, 13 Agustus 2013

Hujan, Kamu, Aku dan Traumaku




 Illustrasi : orangefloat

Bulir-bulir hujan bak Kristal jatuh menampar rimbunnya daun kemuning yang tumbuh di depan jendela kamarku. Daun itu terayun-ayun bak tangan penari Bali yang sedang memperagakan tarian pendet. Kutanamkan dalam pikiranku, apanya yang membuatku takut dengan tetesan hujan yang tak berwarna dan tak berujud itu? Mengapa hanya dengan tetesan kecil itu membuat ketakutan dan  juga gelisah tak karuan? 

Setiap langit mendung, resah itu menyelinap dalam hatiku, apalagi jika dibarengi dengan suara petir berikut kilat yang mendampinginya. Aku semakin merasa kecil, seolah aku sedang dipotret oleh Dia. Aku tak dapat menyembunyikan apa-apa walau sekecil apapun! Ahhh… diri ini penuh dosa, aku bisa membungkusnya dengan rapat di hadapan manusia biasa, tapi tidak di depanMu.

Kuperhatikan, hamparan putih pada pucuk-pucuk pohon kemuningku luruh satu persatu. Nah… betulkan?Hujan tak hanya membuatku takut tapi juga merenggut bunga kesayanganku yang seharusnya masih bermegah di tangkainya. Hilang sudah aroma harum yang seharusnya menyebar masuk ke dalam kamarku. Aku lebih menyukai harumnya bunga kemuning dari pada mawar atau melati. 

Mataku masih menatap di luar jendela, dari kejauhan kulihat segerombolan anak-anak kecil dengan asyiknya bermandikan hujan. Aku iri dengan keberanian mereka, sama sekali tak nampak ketakutan malah sebaliknya. Teriakan mereka menandakan kalau hati mereka senang menyambut datangnya hujan. Bergulingan sambil menendang bola tanpa menghiraukan tetesan hujan  menerpa bagian tubuhnya. Bocah-bocah itu bebas lahir batin, masih belum ada beban yang menghimpit hati mereka. 

Dulu, akupun mungkin demikian! Kusebut mungkin, karena aku sama sekali tidak dapat mengingat masa kecilku dengan sempurna. Setahuku dari kecil aku sudah takut hujan. Berawal dari timbulnya bintik-bintik merah ke seluruh tubuhku jika aku kehujanan. Rasa gatal yang sangat menyiksa, menyebar pada seluruh bagian tubuhku termasuk telapak kaki dan tangan. Mukaku bengkak bagai disengat ribuan lebah. Jika sudah demikian aku hanya bisa meringis menahan derita, sambil menutupi seluruh tubuhku dengan selimut tebal. Herannya, jika tubuhku terasa hangat, berangsur bentol-bentol itu memudar dan hilang tak berbekas. 

Ke dokter sudah kujalani, dokter hanya memberikan sejenis bedak dan obat-obatan yang aku sendiri tak tahu apa namanya. Kesimpulan dokter saat itu aku alergi, dokter tentu lebih mengetahui masalah penyakit kan, jadi akupun menganggap aku “ alergi”. 

Seiring dengan berjalannya waktu, saat ini walau alergi itu kadang masih ada tapi tidak separah saat masa kecilku. Tapi akibatnya aku jadi seorang yang membenci hujan, karena kuanggap hujan menghalangi aku untuk melakukan banyak hal. Rasa iri yang mendera melihat teman-temanku dengan enaknya bermain dengan hujan sambil tertawa gembira. Sedang aku harus menutup rapat-rapat pintu dan jendela kamarku.  Aku kehilangan masa-masa indah yang seharusnya menjadi bagian dari hidupku saat ini. 

Hujan juga mengiringi kepergian orang yang kukasihi, orang yang paling menyayangiku dengan kasih yang berlimpah. Yang sabar menyuapi sendok demi sendok makanan ke dalam mulutku. Membujukku kala aku lagi menangis , siap melindungiku dari hukuman kedua orang tuaku saat nakalku kambuh. Opa pergi saat aku masih membutuhkan seseorang yang mengerti aku, dan hujan pun ikut-ikutan menyertai kepergiannya. Ini juga alasan kedua mengapa aku benci hujan! Karena hujan, aku tak dapat ikut mengiringi rombongan yang membawa jasad Opa ke tempat peristirahatannya  yang terkahir.

Kebencianku akan hujan bertambah saat aku kehilanganmu, hujan menjadi saksi atas perlakuanmu terhadapku. Tanpa mendengar bantahan dan penjelasanku kau keluarkan ultimatum agar aku tak lagi menghubungimu. Di bawah derai hujan aku berlari mengejarmu, mengharap belas kasihan dan meminta sedikit waktumu untuk mendengarkan, ya…hanya mendengarkan saja! Tapi apa yang kudapat membuatku shock, kau tuduh aku berdasarkan apa yang terlihat olehmu saat itu, bukan mendengarkan hati nuranimu. Tahukan kau, apa yang terlihat oleh mata kita belum tentu sesuai dengan keadaan sesungguhnya?

Apakah salah jika aku menerima tamu  laki-laki yang sudah sekian tahun tidak berjumpa? Apakah harus kutolak kedatangan sahabat masa kecilku ketika aku sedang sendirian di rumah? Dan apakah aku yang mengundang hujan hingga menyebabkan semua kejadian itu terlihat olehmu? Hilman sama sekali tidak bersalah, dia sahabatku yang berusaha menolongku saat aku terpeleset akibat tetesan hujan merembes di lantai ruang tamuku. Saat dia memelukku, kau melihatnya sebagai perbuatan nista yang kulakukan di belakangmu. Tak cukupkah kau menyakiti sahabatku dengan pukulan bertubi-tubi pada wajah dan bagian lain tubuhnya? Mengapa tak kau dengarkan teriakanku menghentikan ulahmu, bahkan dengan kasarnya kau mendorong tubuhku hingga terjengkang tanpa peduli dengan kesakitanku. 

Bertahun-tahun kau hilang, dan aku memang tak dapat menemukanmu. Rasa mengganjal dalam hati membuatku berusaha mencarimu untuk menjelaskan kejadian yang sebenarnya, setelah itu terserah apa pun penilaianmu tentangku. Aku pun tak ingin berharap banyak, cukup kau mengerti bahwa aku tak senista seperti yang kau pikirkan. Aku cukup merasa aman dalam tempurung yang kuciptakan sendiri, yang senantiasa melindungiku dari semua hal yang tidak kusukai.

Baru saja aku berniat meninggalkan jendela kamarku, mataku seolah nanar antara percaya dan tidak. Wajah kuyub itu berdiri tegak di bawah guyuran hujan entah sudah berapa lama. Lamunanku yang panjang membuatku sama sekali tidak mengetahui kehadirannya. Ahhh… kau kembali , tunggulah aku akan menghampirimu. Tanpa memikirkan kambuhnya alergiku aku berlari menerobos hujan. Rentangan tanganmu membuatku percaya masih ada cinta untukku. Aku merasakan kembali hangatnya pelukanmu dan untuk kali ini aku tidak takut hujan!

Tuhan mengembalikan kau padaku dengan caranya sendiri, ternyata kau bertemu dengan Hilman tak sengaja di sebuah pertokoan di Surabaya. Hilman menceritakan semua kejadian dulu setelah menghadiahkan engkau dua kali tamparan atas kebodohan dan kedegilanmu saat itu. Kali ini hujan juga yang mengiringi kau kembali.
*****

0 komentar:

Posting Komentar