Selasa, 13 Agustus 2013

Sebuah Permintaan Kematian

13763783581159783908
Aku membiarkan kau menepuk pundakku, barangkali pikirmu aku akan sedikit lebih tenang dengan caramu memperlakukan aku. Kau keliru sayang, pernyataan yang baru saja kau sampaikan cukup menohok hatiku. Bagaimana tidak? Adakah seorang suami yang bersikap begitu kejam kepada istrinya, duh… Gusti, entah rencana apa yang yang Engkau gariskan sebagai jalan hidupku. Aku hanya perempuan biasa, yang jauh dari sebutan pintar, aku memang tak pandai merias diri, barangkali juga tak sepadan mengimbangi setiap sepak terjang suamiku. Apakah dengan alasan demikian aku harus merelakan suamiku berbagi kasih, bahkan berbagi semuanya untuk perempuan lain yang kau anggap setara dengan suamiku? Katakan padaku, ya Gusti….. Apakah semua ini adalah rencanamu? Katanya Engkau Maha Adil, Maha penyayang! Mengapa terhadapku Engkau mengurangi rasa adil dan sayangMu?


“Din, cobalah mengerti Mas. Mas berjanji akan bersikap adil. Mas menyayangi kalian berdua, kau dan Mia sama berartinya dalam hidup Mas. Kau telah menemani Mas selama delapan tahun, baik dalam keadaan susah maupun senang. Kau istri yang hampir sempurna!

Tapi Din, Sebagai laki-laki pada umumnya, Mas merasa kurang pada rumah tangga kita. Tiada tangis anak kecil menghiasi rumah ini, sepi dan kosong… Itu yang Mas rasakan!” pintamu seperti anak kecil yang merengek minta permen.


Aku terdiam, masih seperti tadi. Bedanya hanya pada tampilan wajahku, kalau tadi seolah beku tanpa ekspresi, sekarang agak kendor. Sebagai gantinya dua saluran anak sungai mengalir dari kedua belah mataku. Aku suka kesal dengan ketidakmampuanku mengendalikan diri, pada akhirnya menunjukan kelemahanku di hadapanmu. Ahhh…. Manalah mungkin kau iba kepadaku, jika rasa itu masih tersisa untukku, tak pula kau lakukan seperti ini. Aku istrimu yang kau anggap mandul dan tak sanggup memberikan kesempurnaan dalam hidupmu.


Kalau kehadiran anak kau anggap sebagai suatu kesempurnaan, baiklah…aku terpaksa mengakui kekalahanku. Tapi tak terpikirkah olehmu akan kesempurnaanku yang lain, selama menyandang gelar sebagai istrimu. Aku sebetulnya tak ingin berhitung denganmu, jika sudah demikian mau tak mau otakku yang sekian tahun tak pernah diasah, terpaksa bekerja keras mengkalkulasikan sisi positif dan negatifku. Menurut perhitunganku, lebih banyak positifnya, tapi aku tak sanggup mengemukakan kelebihanku padamu. Kau telah dibutakan dengan keinginanamu yang bersifat mutlak. Padahal jika boleh aku berpendapat, belumlah tentu Mia akan berhasil memberikan apa yang kau inginkan. Jika nasibnya sama denganku, apakah kau akan minta izin juga padanya untuk mencari indukan lain? Sungguh rendah kaumku dalam pandangan matamu! Istri bagimu hanya sebagai pabrik untuk mendapatkan anak.


Jawaban apa yang harus kuberikan pada suamiku? Dari dasar hatiku, sudah pasti aku tak rela! Aku masih waras untuk mengikhlaskan suamiku berbagi dengan wanita lain. Tapi aku tak punya pilihan lain, pernyataan suamiku bukan bersifat minta izin, tapi lebih kepada pemberitahuan. Sekian tahun hidup bersamanya, aku mengenal dirinya, termasuk intonasi dalam setiap ucapannya. Aku yakin suamiku tak perlu izinku untuk melaksanakan niatnya, sepertinya keputusannya sudah mantap, tak akan ada gunanya kukatakan argumenku dan ketidak setujuanku.

*****

Aku, perempuan desa yang hanya mampu menamatkan sekolah sampai SMA. Bermodal kenekadan, aku minta izin kepada kedua orang tuaku untuk merantau ke Ibu Kota, Jakarta. Betapa inginnya aku meneruskan kuliah seperti teman-temanku, apa daya, untuk mengungkapkan keinginanku saja aku tak berani. Masih empat adikku yang butuh banyak biaya. Ayah adalah PNS rendahan, yang hanya mampu memberikan makan anak dan istrinya, menyekolahkan kami sampai batas SMA saja. Itupun aku sudah bersyukur, sebab di kampungku masih banyak yang hanya mampu menamatkan sekolah sampai SMP, bahkan 
hanya sampai SD saja. Kata orang tua di sana, asal bisa baca tulis, cukuplah. Sebuah pandangan yang patut membuat miris hatiku.


Dua bulan menganggur hampir membuatku putus asa, uang bekal yang kubawa dari kampung makin menipis. Saat aku hampir mengambil keputusan untuk kembali sebagai seorang yang kalah, berita baik kuterima dari salah satu temanku. Singkat kata, aku bergabung dengan sahabatku di kantor yang sama. Gaji yang kuterima hanya cukup untuk makan, ongkos dan biaya kost saja. Kembali aku harus menelan keinginanku untuk meneruskan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.


Hari-hari kulewati dengan tenang walau dengan pendapatan pas-pasan, sampai suatu ketika aku berkenalan dengan Mas Surya. Dengan penuh keyakinan dia membawaku untuk hidup bersamanya dalam satu wadah yang dinamakan pernikahan. kedua belah pihak keluarga mendukung rencana kami untuk lebih mengukuhkan ikatan kami. Apalagi yang kami pertimbangkan selain mengesahkannya di hadapan Tuhan dan negara.


Tiada keistimewaan kehidupanku setelah pernikahan, hanya saja aku harus membiasakan diri beradaptasi dengan cara dan pola kehidupan Mas Surya. Makin hari jenjang karir Mas Surya semakin membaik, gaya hidupnyapun berubah. Kalau tadinya sederhana dan ada saling pengertian antara kami, lambat laun sikapnya selalu ingin dituruti, tak kenal penolakan. Yang patut kusyukuri hanya satu hal, Mas Surya tak pernah ringan tangan terhadapku, walau kadang kata-katanya menyakitikan. Dan aku, makin merasa adanya suatu keterasingan di antara kami.


Kini, apa yang harus kulakukan dengan permintaan suamiku, yang dulu katanya sangat mencintaiku? Menolak permintaanya berarti aku harus siap berpisah dengannya. Apakah aku sanggup membiayai hidupku sendiri, mengingat setelah delapan tahun aku telah berhenti total dari pekerjaanku, pula hanya ijazah SMA yang kumiliki? Kalau dulu mungkin aku masih bisa diterima bekerja di kantor, tapi sekarang lulusan sarjana begitu banyak dan yang mengganggurpun tak terhitung. Mampukah aku bersaing dengan mereka yang nota bene memiliki ijazah lebih tinggi dariku?


“Mas, berikanlah aku waktu untuk berpikir. Sungguh, aku tak menyangka permintaanmu ini, Mas. Biarkan aku menenangkan diriku, agar aku dapat memikirkan permintaanmu”



” Jangan terlalu lama, Din. Sebenarnya tidak ada yang berubah dengan status dan perlakuanku terhadapmu. Hanya saja, jika kau menyetujuinya, kuminta kau menandatangani surat persetujuan yang sudah kusiapkan” balasmu sambil menyodorkan lembaran kertas.


Tahukah kau suamiku, permintaanmu bagiku bagai ‘Sebuah Permintaan Kematian’? Jika tak ada lagi rasa cintamu padaku, baiklah… untuk apa aku mempertahankan biduk rumah tangga kita. Aku tak mau bagai parasit yang nanti kalian anggap menggerogoti yang kalian punya. Paling tidak aku masih punya harga diri untuk tidak dihinakan. Aku percaya Tuhan tidak akan membiarkan aku kelaparan, aku masih punya dua tangan dan dua kaki sebagai modalku untuk mengisi perutku.


“Mas, aku telah memutuskan untuk tidak menandatangani surat persetujuan ini, jika Mas memilih jalan seperti itu, aku siap dengan konsekuensinya.” ucapku lantang seraya merobek surat itu.


Kulihat Mas Surya kaget atas reaksiku. Biarlah, aku pergi dari kehidupannya. Toh aku sudah tak dibutuhkan lagi, seorang perempuan mandul di matanya! Semoga kehidupanku tak akan berhenti setelah berpisah dengannya.

*****

Pasca perceraian kami, ternyata aku diberikan kemudahan olehNya. Tak terasa waktu  telah berlalu tiga tahun tanpa sekalipun aku bertemu dengan Mas Surya. Dan kini aku telah menemukan seorang laki-laki yang menerimaku apa adanya. Calon suamiku adalah seorang duda dengan satu anak perempuan berumur 6 tahun. Mas Rifky ditinggal mati istrinya tiga tahun yang lalu. Aku bergabung dengan perusahaannya berkat bantuan sahabat karibku yang kebetulan mengundurkan diri karena ikut suaminya ke luar negeri.

Aku percaya Tuhan itu Adil dan Maha Penyayang. Bagi mereka yang tidak berputus asa, pertolonganNya selalu ada buat kita. Terima kasih Tuhan.

*****


1330081616427711249

Desa Rangkat adalah komunitas yang terbentuk berdasarkan kesamaan minat dalam dunia tulis menulis fiksi. Jika berkenan silahkan berkunjung, berkenalan, dan bermain peran dan fiksi bersama kami di Desa Rangkat


Illustrasi : beritaterkinionline.com

0 komentar:

Posting Komentar