Rahasia Besar Sepasang Kakek Nenek

Aku tak pernah mendengar pepatah seperti ini, jadi sebagai kepala keluarga yang memimpin anak istri harus makan bagian kepala?

Ibu Tiriku Adalah Ibu Kandungku

“jangan ragukan cinta mama terhadapmu, anakku. Mama menyayangimu dengan tulus” ucap mama sambil membalas pelukanku. Ahhh…. mama, maafkan aku"

Tak Terasa,7 Tahun Sudah

tahukah kau sayang, aku mencintaimu apa adanya, matahari boleh tenggelam,Bulanpun boleh tak membiaskan sinarnya Tapi cintaku padamu, tak pernah padam...

Cinta Tanpa Kata

Ahhhh…. Dia telah kembali, ke manakah dia selama lima tahun ini tanpa kabar? Mengapa tadi tidak langsung menemuinya

Damailah Kau Disana

Tahukah kau arti sebuah kehilangan? Adakah kau rasa, seperti yang kurasa di sini? Mengingatmu, selalu berurai air mataku

Selasa, 13 Agustus 2013

Hujan, Kamu, Aku dan Traumaku




 Illustrasi : orangefloat

Bulir-bulir hujan bak Kristal jatuh menampar rimbunnya daun kemuning yang tumbuh di depan jendela kamarku. Daun itu terayun-ayun bak tangan penari Bali yang sedang memperagakan tarian pendet. Kutanamkan dalam pikiranku, apanya yang membuatku takut dengan tetesan hujan yang tak berwarna dan tak berujud itu? Mengapa hanya dengan tetesan kecil itu membuat ketakutan dan  juga gelisah tak karuan? 

Setiap langit mendung, resah itu menyelinap dalam hatiku, apalagi jika dibarengi dengan suara petir berikut kilat yang mendampinginya. Aku semakin merasa kecil, seolah aku sedang dipotret oleh Dia. Aku tak dapat menyembunyikan apa-apa walau sekecil apapun! Ahhh… diri ini penuh dosa, aku bisa membungkusnya dengan rapat di hadapan manusia biasa, tapi tidak di depanMu.

Kuperhatikan, hamparan putih pada pucuk-pucuk pohon kemuningku luruh satu persatu. Nah… betulkan?Hujan tak hanya membuatku takut tapi juga merenggut bunga kesayanganku yang seharusnya masih bermegah di tangkainya. Hilang sudah aroma harum yang seharusnya menyebar masuk ke dalam kamarku. Aku lebih menyukai harumnya bunga kemuning dari pada mawar atau melati. 

Mataku masih menatap di luar jendela, dari kejauhan kulihat segerombolan anak-anak kecil dengan asyiknya bermandikan hujan. Aku iri dengan keberanian mereka, sama sekali tak nampak ketakutan malah sebaliknya. Teriakan mereka menandakan kalau hati mereka senang menyambut datangnya hujan. Bergulingan sambil menendang bola tanpa menghiraukan tetesan hujan  menerpa bagian tubuhnya. Bocah-bocah itu bebas lahir batin, masih belum ada beban yang menghimpit hati mereka. 

Dulu, akupun mungkin demikian! Kusebut mungkin, karena aku sama sekali tidak dapat mengingat masa kecilku dengan sempurna. Setahuku dari kecil aku sudah takut hujan. Berawal dari timbulnya bintik-bintik merah ke seluruh tubuhku jika aku kehujanan. Rasa gatal yang sangat menyiksa, menyebar pada seluruh bagian tubuhku termasuk telapak kaki dan tangan. Mukaku bengkak bagai disengat ribuan lebah. Jika sudah demikian aku hanya bisa meringis menahan derita, sambil menutupi seluruh tubuhku dengan selimut tebal. Herannya, jika tubuhku terasa hangat, berangsur bentol-bentol itu memudar dan hilang tak berbekas. 

Ke dokter sudah kujalani, dokter hanya memberikan sejenis bedak dan obat-obatan yang aku sendiri tak tahu apa namanya. Kesimpulan dokter saat itu aku alergi, dokter tentu lebih mengetahui masalah penyakit kan, jadi akupun menganggap aku “ alergi”. 

Seiring dengan berjalannya waktu, saat ini walau alergi itu kadang masih ada tapi tidak separah saat masa kecilku. Tapi akibatnya aku jadi seorang yang membenci hujan, karena kuanggap hujan menghalangi aku untuk melakukan banyak hal. Rasa iri yang mendera melihat teman-temanku dengan enaknya bermain dengan hujan sambil tertawa gembira. Sedang aku harus menutup rapat-rapat pintu dan jendela kamarku.  Aku kehilangan masa-masa indah yang seharusnya menjadi bagian dari hidupku saat ini. 

Hujan juga mengiringi kepergian orang yang kukasihi, orang yang paling menyayangiku dengan kasih yang berlimpah. Yang sabar menyuapi sendok demi sendok makanan ke dalam mulutku. Membujukku kala aku lagi menangis , siap melindungiku dari hukuman kedua orang tuaku saat nakalku kambuh. Opa pergi saat aku masih membutuhkan seseorang yang mengerti aku, dan hujan pun ikut-ikutan menyertai kepergiannya. Ini juga alasan kedua mengapa aku benci hujan! Karena hujan, aku tak dapat ikut mengiringi rombongan yang membawa jasad Opa ke tempat peristirahatannya  yang terkahir.

Kebencianku akan hujan bertambah saat aku kehilanganmu, hujan menjadi saksi atas perlakuanmu terhadapku. Tanpa mendengar bantahan dan penjelasanku kau keluarkan ultimatum agar aku tak lagi menghubungimu. Di bawah derai hujan aku berlari mengejarmu, mengharap belas kasihan dan meminta sedikit waktumu untuk mendengarkan, ya…hanya mendengarkan saja! Tapi apa yang kudapat membuatku shock, kau tuduh aku berdasarkan apa yang terlihat olehmu saat itu, bukan mendengarkan hati nuranimu. Tahukan kau, apa yang terlihat oleh mata kita belum tentu sesuai dengan keadaan sesungguhnya?

Apakah salah jika aku menerima tamu  laki-laki yang sudah sekian tahun tidak berjumpa? Apakah harus kutolak kedatangan sahabat masa kecilku ketika aku sedang sendirian di rumah? Dan apakah aku yang mengundang hujan hingga menyebabkan semua kejadian itu terlihat olehmu? Hilman sama sekali tidak bersalah, dia sahabatku yang berusaha menolongku saat aku terpeleset akibat tetesan hujan merembes di lantai ruang tamuku. Saat dia memelukku, kau melihatnya sebagai perbuatan nista yang kulakukan di belakangmu. Tak cukupkah kau menyakiti sahabatku dengan pukulan bertubi-tubi pada wajah dan bagian lain tubuhnya? Mengapa tak kau dengarkan teriakanku menghentikan ulahmu, bahkan dengan kasarnya kau mendorong tubuhku hingga terjengkang tanpa peduli dengan kesakitanku. 

Bertahun-tahun kau hilang, dan aku memang tak dapat menemukanmu. Rasa mengganjal dalam hati membuatku berusaha mencarimu untuk menjelaskan kejadian yang sebenarnya, setelah itu terserah apa pun penilaianmu tentangku. Aku pun tak ingin berharap banyak, cukup kau mengerti bahwa aku tak senista seperti yang kau pikirkan. Aku cukup merasa aman dalam tempurung yang kuciptakan sendiri, yang senantiasa melindungiku dari semua hal yang tidak kusukai.

Baru saja aku berniat meninggalkan jendela kamarku, mataku seolah nanar antara percaya dan tidak. Wajah kuyub itu berdiri tegak di bawah guyuran hujan entah sudah berapa lama. Lamunanku yang panjang membuatku sama sekali tidak mengetahui kehadirannya. Ahhh… kau kembali , tunggulah aku akan menghampirimu. Tanpa memikirkan kambuhnya alergiku aku berlari menerobos hujan. Rentangan tanganmu membuatku percaya masih ada cinta untukku. Aku merasakan kembali hangatnya pelukanmu dan untuk kali ini aku tidak takut hujan!

Tuhan mengembalikan kau padaku dengan caranya sendiri, ternyata kau bertemu dengan Hilman tak sengaja di sebuah pertokoan di Surabaya. Hilman menceritakan semua kejadian dulu setelah menghadiahkan engkau dua kali tamparan atas kebodohan dan kedegilanmu saat itu. Kali ini hujan juga yang mengiringi kau kembali.
*****

Aku dan Hujan




Illustrasi : azaleav.wordpress.com
.
Berulang kali kutatap bulirmu jatuh ke bumi
Hanya berujud cairan, bening tanpa warna
Paling hanya membuat daun dari pohon perdu bergerak sedikit
Tak sampai membuat hijaunya berubah dan luruh
.
Tapi mengapa engkau malah menakutiku?
Tahukah kau, hujan?
Aku tak suka jika kau datang!
Hatiku gelisah, tak tenang
Hilang kedamaianku, dan resah menjelang
Selalu seperti itu…..
.
Seseorang menasehatiku tuk menyingkirkan phobia itu
“Hujan adalah anugerah Tuhan” begitu katanya
Aku tahu, dan aku sudah mencoba jauh sebelum nasehat itu datang
Apa daya, aku belum sanggup mengalahkannya
.
Hujan,
Mengapa kau sering datang tak beraturan
Jadwalmu harusnya Oktober sampai April
Tapi ini awal Juli, harusnya kau tidur beristirahat
Biarkan panas menggantikan tugasmu
*****

Anakku, Jadilah Penulis yang Baik


 Illustrasi : agsaoto.wordpress.com


Anakku, ibu tak pernah melarangmu untuk menggantungkan cita-citamu setinggi langit. Biarpun saat ini kehidupan kita pas-pasan, tapi ibu masih berharap jika saatnya tiba, Tuhan akan memberikan Rahmat dan karunianya kepada kita. Jangan khawatir, ibu akan berusaha semampu ibu untuk mewujudkan cita-citamu.

Dulu…..sewaktu kau masih kecil, ketika ibu tanyakan apa cita-citamu, dengan senyum manis engkau katakan pada ibu kalau kau ingin menjadi penulis hebat. Kau ingin menyuarakan suara hatimu lewat tulisan agar dapat dibaca oleh orang banyak. Tahukah kau anakku, saat itu ibu sempat kecewa? Ibu berharap kau akan menjawab” Ibu, aku ingin menjadi Dokter”, atau “Ibu, aku ingin menjadi seorang Politikus, Akuntan, Dosen” atau semacamnya yang ibu anggap sebuah profesi yang lebih menjanjikan masa depanmu.

Ini hanya berandai saja, anakku! Menjadi seorang dokter perlu biaya yang tidak sedikit, juga profesi lain yang ibu harapkan menjadi pilihanmu. Ibu sadari itu, sekali lagi ini hanya pengandaian. Saat ini ibu hanya dapat berdoa, sayang. Semoga Tuhan mendengar doa orang kecil seperti kita ini.

Oh ya, Nak. Apapun pilihanmu, ibu akan mendukungmu. Jika kau ingin menjadi penulis, ibu harap kau tidak melupakan kode etik dalam dunia tulis menulis. Jadilah engkau seorang penulis yang santun, yang nanti lewat tulisanmu dapat menyejukan hati pembaca. Mengajarkan kebaikan kepada sesama, mengajak pembaca karyamu untuk lebih peka dengan penderitaan sesama, pula memberikan gambaran kepada kaummu untuk menjadi seorang wanita yang mandiri.

Ahh… ibu melupakan kodratmu sebagai wanita, Nak. Sebagai penulis wanita, janganlah engkau membongkar aib orang lain, terutama aib kaummu. Jangan pula karena merasa telah hebat, hingga engkau menghina karangan orang lain. Ingatlah, Nak. Setiap insan ciptaanNya memiliki kelebihannya sendiri, tak ada manusia yang sempurna di muka bumi ini. Kepandaian dan kecerdasan yang kau miliki hanya bersifat sementara, akan ada waktunya semua yang kau agungkan, yang kau anggap sebagai kelebihanmu akan tercabut darimu. Ibu tak ingin engkau mengharumkan namamu dengan cara menghina orang lain, apalagi kaummu sendiri.

Anakku, jadilah penulis yang punya prinsip, jangan ikut-ikutan menyebar fitnah demi ketenaran. Ketenaran yang hakiki bukan didapat dengan cara merendahkan orang lain. Hormati para seniormu juga adik-adikmu. Hendaknya engkau berbagi kebaikan kepada mereka yang membutuhkan. Ingatlah ilmu padi, anakku! Semakin berisi, ia akan semakin merunduk, amalkanlah ilmu itu nak, niscaya kemuliaan akan kau dapatkan.

Nak, janganlah engkau menjadi seorang yang munafik. Mungkin engkau bingung dengan celoteh ibu ini. Begini anakku, sebagai penulis engkau ibaratnya menceritakan peristiwa atau kehidupan orang lain kepada pembaca. Ibu berharap jangan demi sejumlah materi, engkau memutar balikan kenyataan, sehingga yang salah menurutmu kau tuliskan menjadi baik. Begitupun sebaliknya, apa yang menurut hati nuranimu baik, engkau bengkokan menjadi salah. Ada pepatah mengatakan bahwa tulisan itu terkadang lebih tajam dari sebilah pedang. Pepatah itu benar adanya, Nak.

Anakku, saat ini ibu hanya melihatmu dengan sembunyi-sembunyi dari bilik tempat tidur ibu. Berbekal lampu teplok yang cerobong kacanya agak menguning, ibu perhatikan engkau rajin menulis kejadian yang kau alami hari ini. Kau lakukan itu tiap malam, Nak. Tak terlewati barang semalam pun.

Pagi tadi, sempat ibu angkat celengan ayam milikmu, masih tidak terlalu berat. Kadang, ibu sisihkan pendapatan ibu untuk membantu menambah jumlahnya. Tak sering, hanya jika ibu mendapat rejeki lebih dari hasil mengumpulkan botol-botol plastik dari tempat pembuangan warga. Ibu tahu, kau sangat menginginkan sebuat mesin ketik manual, yang di pajang di toko Babah Ong, bukan? Ibu sering memergoki pandangan matamu terarah pada benda mahal itu, kadang engkau masuk dan menyentuh benda kesayanganmu itu. Tanpa kau sadari, mata ibu basah, ibu tak berdaya membelikannya untukmu, Nak.

Anakku, contohlah penulis hebat tapi rendah hatinya, jadilah engkau seperti mereka. Jika ibu tak sempat melihat keberhasilan engkau nanti, percayalah di alam sana ibu akan bangga memiki anak seperti engkau. Anakku, Jadilah Engkau penulis yang Baik.
*****
Tangerang, 08 Agustus 2013
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1434 H
1330081616427711249
Desa Rangkat adalah komunitas yang terbentuk berdasarkan kesamaan minat dalam dunia tulis menulis fiksi. Jika berkenan silahkan berkunjung, berkenalan, dan bermain peran dan fiksi bersama kami di Desa Rangkat

Kidung Senja di Tepi Harmoni



 Illustrasi : gaptekuupdate.nate

Aku melongok ke kamar Dinda yang terbuka sedikit, tumben anak ini betah di kamar. Biasanya jam segini sudah tak nampang batang hidungnya. Tatapan matanya lurus pada layar monitor laptopnya, sedang jemarinya yang lincah menari-nari di atas key board laptopnya. Hmmmm…. Rasa ingin tahuku membuatku tak dapat menahan langkah kaki menghampirinya

Dinda sepertinya mengetahui kehadiranku, tapi masih saja diam membisu. Heiii…. Apa yang yang tertera di layar laptop membuatku terbeliak tak percaya. Rupanya Dinda sedang menulis cerpen,  bukan soal menulisnya yang membuatku kaget tapi judulnya. Bagaimana bisa, cucuku menulis dengan judul yang sama dengan lagu yang diciptakan seseorang  puluhan tahun silam? Ya…hasil karya bersama antara aku dengan Mas Ihsan, yang akhirnya tersimpan tanpa pernah kulantunkan lagi sejak kepergiannya.

Kidung Senja di Tepi Harmoni”mengingatkan aku dengan seseorang yang kukasihi, yang terpaksa berpisah karena memang tak patut disatukan. Aku dan dia sama-sama memiliki rasa yang sama, yang hanya diketahui oleh kami berdua. Tak ada kata yang terucap untuk mengukuhkan perasaan itu, hanya hati yang bicara lewat tatapan mata dan bahasa tubuh kami. Aku mengenalnya sangat dekat, seperti dia mengenalku. Tumbuh dan berkembang dewasa dalam lingkungan yang sama, saban hari bertemu, bermain bersama menumbuhkan rasa lain di hati kami. Sampai akhirnya dia terpaksa pergi untuk menghindari hal-hal yang sekiranya akan membuat nama baik keluarga besar kami tercemar.
Suatu pagi aku terkejut menemukan amplop lusuh warna coklat yang diselipkan di jendela kamarku. Tak sabar kurobek dan membaca isinya. Singkat dan cukup membuatku diam tak bergerak sekian menit. Isi surat itu sampai sekarang masih kuhafal dengan sempurna, lengkap dengan titik, koma, dan tanda baca lainnya. 

Menik, kuyakin kau tahu apa yang ada di hatiku. Bertahun-tahun kebersamaan kita walau tak pernah terucap, pasti kau mengetahuinya. Aku sungguh menyayangimu dan akhirnya rasa sayangku tumbuh menjadi sesuatu yang sama-sama tidak kita inginkan. Maafkan aku, aku memilih pergi meninggalkanmu, untuk menjaga hal-jal yang tidak kita inginkan terjadi pada keluarga besar kita. Biarlah dalam kehidupan nyata dan pandangan orang-orang kita tetap sebagai saudara. Semoga dengan terpisahnya raga kita dalam jarak yang cukup jauh, penyimpangan rasa itu akan kembali pada tempatnya, sebagai  kasih persaudaraan. Ibumu sudah kuanggap sebagai ibuku juga, demikian pula dengan ayahmu. Nenek kita sama, itu yang membuat kita harus berpikir panjang, bukan sekedar menuruti ego kita.

Menik, aku ingin kau meneruskan hidupmu dengan wajar, jika suatu saat kau menemui seorang laki-laki yang baik, tukarlah rasa sayangmu kepadaku untuknya. Berikan  yang tadinya kau peruntukkan bagiku, pada dia. Jangan sedih berlarut-larut sepeninggalanku. Maaf, aku  sengaja tak mengabari rencanaku padamu, karena aku tak kan sanggup mengungkapkannya bertatap muka langsung denganmu. Doaku, bahagia selalu menyertaimu. Kidung Senja di Tepi Harmoni lagu kenangan kita, semoga akan selalu melekat dalam jiwa kita.
Ihsan”
******
Ah… Mas Ihsan, tahukah kau rasa itu sampai saat ini masih sama seperti dulu, mana mungkin memindahkannya bagai sebuah benda? Walau saat ini kondisi kita telah berbeda, aku cukup senang melihatmu bahagia dengan  Mbakyu Sari. Sama sepertiku, kalianpun telah dianugerahi sepasang anak dan dan empat orang cucu. Terakhir pertemuan kita, kutahu kau telah mampu meletakkan rasa itu pada tempatnya. Tapi aku tidak! Rasa itu masih begitu kukuh mendiami rongga hatiku , menyelimuti semua isinya dan hingga sulit sekali memindahkan ke tempat lain. 

Lamunanku terhenti karena sentuhan lembut pada lenganku, Dinda menatapku heran. Rupanya aku telah mengabaikan dua kali panggilannya. Buru-buru kuhadiahkan sebuah senyum padanya, sambil mengacak-ngacak poninya yang terlihat lucu. 

“Eyang melamun, ya?  Hmmm….. hayoo, siang-siang begini lamunin siapa?”godanya centil.
“Boleh Eyang baca cerpenmu, Nduk? Eyang penasaran dengan judulnya itu. Kalau boleh Eyang tahu, apa alasanmu memilih judul itu? Barangkali setelah membacanya, Eyang jadi mengerti” pintaku mengabaikan pertanyaan tadi.

“Boleh, Eyang. Silakan baca“ balasnya sambil menggeserkan duduk dan memberikan tempat padaku agar dapat membaca dengan leluasa. 

Kuhela napas agak panjang, entah cerpen itu berdasarkan cerita nyatanya atau hanya sekedar imajinasinya, aku menangkap intinya hampir sama dengan perjalanan cinta masa laluku, walau tidak persis. Cara penulisan dan pemaparan peristiwa lumayan apik. Ternyata cucuku hobby menulis.
“Jujur Eyang, Judul itu Dinda dapatkan atas usul teman Dinda di kampus. Rencananya cerpen ini akan kami kirim ke redaksi sebuah majalah. Dinda dan Tirta, sama-sama suka menulis Eyang. Ini kolaborasi kami yang pertama”

Dari cerita dan raut wajah Dinda aku menduga  Tirta yang disebut sebagi temannya bukan hanya sekedar teman biasa. Ada nada khusus dalam lafalnya tadi. Tak tahan usilku untuk tidak menggodanya. “Hmmmmm… teman kolab sejati ya Nduk?”  senyum sumringah dengan sikapnya yang malu-malu mempertegas dugaanku. 

“Eyang, menurut Tirta Eyang kakungnya sering sekali menyanyi lagu ciptaannya dengan judul yang sama dengan cerpen kami. Bahkan sampai saat ini, Eyang kakungnya masih sering melantunkan lagu itu sampai-sampai Tirta sendiri akhirnya menyukai lagu itu, Eyang. Di akhir cerita akan  kami tuliskan syair lagu itu dalam cerpen kami” 

Kalimat terakhir Dinda membuat jantung berdetak lebih cepat dari batas normal, mungkinkah……?! Ahhhh…… Mas Ihsan, ternyata cucu-cucu kita lebih dulu bertemu dan jika benar dugaanku nasib mereka lebih beruntung dari nasib kita. Tapi apakah mungkin cucumu menuntut ilmu di tempat yang sama dengan cucuku? Bukankah Jogya banyak universitas yang bagus dan mengapa aku sama sekali tidak mengetahuinya? Ternyata komunikasi yang terputus membuatku tak tahu apa-apa tentangmu dan keluargamu. 

“Dinda, Eyang jadi ingin tahu bagaimana sih lagu, paling tidak syairnya lagu itu. Judulnya membuat Eyang penasaran. Apakah syair itu ada padamu, Nduk?” tanyaku dengan sikap penasaran yang kentara. Mudah-mudahan Dinda tidak memperhatikan sikapku ini.

“Ada Eyang, sebentar Dinda ambilkan” 

Dinda membuka map yang berisi tumpukan kertas, mencabutnya selembar dari kumpulan kertas lainnya dan menyodorkannya padaku. Jemariku sedikit gemetar membaca syair itu, ada bagian dari jiwaku melayang mengingat masa silam yang tertuang dalam bait-bait syair itu. Bagaimana tidak, ada andilku dalam merangkai kata demi kata hingga membentuk sebuah lagu yang sangat indah, menurutku.
Kidung Senja di Tepi Harmoni

Kidung ini kulantunkan bagimu, duhai kau pujaanku
Dengarlah, setiap rangkaian kata seolah mewakilimu
Keindahmu tertuang dalam syair laguku
Duhai pujaanku, adakah kau rasakan sama sepertiku
*
Bulan membubuy tinggi di awan
Keduanya tak terjangkau oleh jamahanku
Kau hanya dapat kupandang,tak mampu kumiliki
Rasaku-rasamu, hanya kita yang tahu
*
Elok nian sang juwita malam
Bagiku, kau lebih elok duhai gadisku
Apalah daya nasib menghendaki lain
Sampai matipun kau tak dapat kumiliki
*
Kidung ini kunamakan kidung senja
Nyanyian indah tercipta dari rasa cinta
Senja akan berganti, sayang
Dan kita harus siap menjalani
Kehidupan yang digariskan olehNya
*****
Tak sadar air mataku menggenang di pelupuk mata, walau tak sampai tumpah. Wajah kisut ini sudah cukup menderita menahan kerinduan yang terpendam. Akhirnya Tuhan menghendaki lain dengan menyatukan cucu-cucu kita sebagai penerus cinta kita. Terima kasih Gusti……

“ Nduk, Eyang berpesan padamu. Eyang senang engkau menekuni dunia tulis menulis, jadilah penulis yang tidak hanya bisa menulis tapi mampu menyelaraskan isi tulisanmu dengan tindakanmu sehari-hari. Jangan ikut-ikutan teman-temanmu menyebarkan aib orang lain, dan tertawa di atas penderitaan orang lain. Jadilah penulis yang punya prinsip” 

Setelah memberikan nasehat kepadanya, dengan setengah linglung aku keluar dari kamar Dinda. Cucu-cucuku, semoga bahagia selalu menaungi perjalanan hidup kalian, Amin.
*****
1330081616427711249
Desa Rangkat adalah komunitas yang terbentuk berdasarkan kesamaan minat dalam dunia tulis menulis fiksi. Jika berkenan silahkan berkunjung, berkenalan, dan bermain peran dan fiksi bersama kami di Desa Rangkat

Sebuah Permintaan Kematian

13763783581159783908
Aku membiarkan kau menepuk pundakku, barangkali pikirmu aku akan sedikit lebih tenang dengan caramu memperlakukan aku. Kau keliru sayang, pernyataan yang baru saja kau sampaikan cukup menohok hatiku. Bagaimana tidak? Adakah seorang suami yang bersikap begitu kejam kepada istrinya, duh… Gusti, entah rencana apa yang yang Engkau gariskan sebagai jalan hidupku. Aku hanya perempuan biasa, yang jauh dari sebutan pintar, aku memang tak pandai merias diri, barangkali juga tak sepadan mengimbangi setiap sepak terjang suamiku. Apakah dengan alasan demikian aku harus merelakan suamiku berbagi kasih, bahkan berbagi semuanya untuk perempuan lain yang kau anggap setara dengan suamiku? Katakan padaku, ya Gusti….. Apakah semua ini adalah rencanamu? Katanya Engkau Maha Adil, Maha penyayang! Mengapa terhadapku Engkau mengurangi rasa adil dan sayangMu?


“Din, cobalah mengerti Mas. Mas berjanji akan bersikap adil. Mas menyayangi kalian berdua, kau dan Mia sama berartinya dalam hidup Mas. Kau telah menemani Mas selama delapan tahun, baik dalam keadaan susah maupun senang. Kau istri yang hampir sempurna!

Tapi Din, Sebagai laki-laki pada umumnya, Mas merasa kurang pada rumah tangga kita. Tiada tangis anak kecil menghiasi rumah ini, sepi dan kosong… Itu yang Mas rasakan!” pintamu seperti anak kecil yang merengek minta permen.


Aku terdiam, masih seperti tadi. Bedanya hanya pada tampilan wajahku, kalau tadi seolah beku tanpa ekspresi, sekarang agak kendor. Sebagai gantinya dua saluran anak sungai mengalir dari kedua belah mataku. Aku suka kesal dengan ketidakmampuanku mengendalikan diri, pada akhirnya menunjukan kelemahanku di hadapanmu. Ahhh…. Manalah mungkin kau iba kepadaku, jika rasa itu masih tersisa untukku, tak pula kau lakukan seperti ini. Aku istrimu yang kau anggap mandul dan tak sanggup memberikan kesempurnaan dalam hidupmu.


Kalau kehadiran anak kau anggap sebagai suatu kesempurnaan, baiklah…aku terpaksa mengakui kekalahanku. Tapi tak terpikirkah olehmu akan kesempurnaanku yang lain, selama menyandang gelar sebagai istrimu. Aku sebetulnya tak ingin berhitung denganmu, jika sudah demikian mau tak mau otakku yang sekian tahun tak pernah diasah, terpaksa bekerja keras mengkalkulasikan sisi positif dan negatifku. Menurut perhitunganku, lebih banyak positifnya, tapi aku tak sanggup mengemukakan kelebihanku padamu. Kau telah dibutakan dengan keinginanamu yang bersifat mutlak. Padahal jika boleh aku berpendapat, belumlah tentu Mia akan berhasil memberikan apa yang kau inginkan. Jika nasibnya sama denganku, apakah kau akan minta izin juga padanya untuk mencari indukan lain? Sungguh rendah kaumku dalam pandangan matamu! Istri bagimu hanya sebagai pabrik untuk mendapatkan anak.


Jawaban apa yang harus kuberikan pada suamiku? Dari dasar hatiku, sudah pasti aku tak rela! Aku masih waras untuk mengikhlaskan suamiku berbagi dengan wanita lain. Tapi aku tak punya pilihan lain, pernyataan suamiku bukan bersifat minta izin, tapi lebih kepada pemberitahuan. Sekian tahun hidup bersamanya, aku mengenal dirinya, termasuk intonasi dalam setiap ucapannya. Aku yakin suamiku tak perlu izinku untuk melaksanakan niatnya, sepertinya keputusannya sudah mantap, tak akan ada gunanya kukatakan argumenku dan ketidak setujuanku.

*****

Aku, perempuan desa yang hanya mampu menamatkan sekolah sampai SMA. Bermodal kenekadan, aku minta izin kepada kedua orang tuaku untuk merantau ke Ibu Kota, Jakarta. Betapa inginnya aku meneruskan kuliah seperti teman-temanku, apa daya, untuk mengungkapkan keinginanku saja aku tak berani. Masih empat adikku yang butuh banyak biaya. Ayah adalah PNS rendahan, yang hanya mampu memberikan makan anak dan istrinya, menyekolahkan kami sampai batas SMA saja. Itupun aku sudah bersyukur, sebab di kampungku masih banyak yang hanya mampu menamatkan sekolah sampai SMP, bahkan 
hanya sampai SD saja. Kata orang tua di sana, asal bisa baca tulis, cukuplah. Sebuah pandangan yang patut membuat miris hatiku.


Dua bulan menganggur hampir membuatku putus asa, uang bekal yang kubawa dari kampung makin menipis. Saat aku hampir mengambil keputusan untuk kembali sebagai seorang yang kalah, berita baik kuterima dari salah satu temanku. Singkat kata, aku bergabung dengan sahabatku di kantor yang sama. Gaji yang kuterima hanya cukup untuk makan, ongkos dan biaya kost saja. Kembali aku harus menelan keinginanku untuk meneruskan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.


Hari-hari kulewati dengan tenang walau dengan pendapatan pas-pasan, sampai suatu ketika aku berkenalan dengan Mas Surya. Dengan penuh keyakinan dia membawaku untuk hidup bersamanya dalam satu wadah yang dinamakan pernikahan. kedua belah pihak keluarga mendukung rencana kami untuk lebih mengukuhkan ikatan kami. Apalagi yang kami pertimbangkan selain mengesahkannya di hadapan Tuhan dan negara.


Tiada keistimewaan kehidupanku setelah pernikahan, hanya saja aku harus membiasakan diri beradaptasi dengan cara dan pola kehidupan Mas Surya. Makin hari jenjang karir Mas Surya semakin membaik, gaya hidupnyapun berubah. Kalau tadinya sederhana dan ada saling pengertian antara kami, lambat laun sikapnya selalu ingin dituruti, tak kenal penolakan. Yang patut kusyukuri hanya satu hal, Mas Surya tak pernah ringan tangan terhadapku, walau kadang kata-katanya menyakitikan. Dan aku, makin merasa adanya suatu keterasingan di antara kami.


Kini, apa yang harus kulakukan dengan permintaan suamiku, yang dulu katanya sangat mencintaiku? Menolak permintaanya berarti aku harus siap berpisah dengannya. Apakah aku sanggup membiayai hidupku sendiri, mengingat setelah delapan tahun aku telah berhenti total dari pekerjaanku, pula hanya ijazah SMA yang kumiliki? Kalau dulu mungkin aku masih bisa diterima bekerja di kantor, tapi sekarang lulusan sarjana begitu banyak dan yang mengganggurpun tak terhitung. Mampukah aku bersaing dengan mereka yang nota bene memiliki ijazah lebih tinggi dariku?


“Mas, berikanlah aku waktu untuk berpikir. Sungguh, aku tak menyangka permintaanmu ini, Mas. Biarkan aku menenangkan diriku, agar aku dapat memikirkan permintaanmu”



” Jangan terlalu lama, Din. Sebenarnya tidak ada yang berubah dengan status dan perlakuanku terhadapmu. Hanya saja, jika kau menyetujuinya, kuminta kau menandatangani surat persetujuan yang sudah kusiapkan” balasmu sambil menyodorkan lembaran kertas.


Tahukah kau suamiku, permintaanmu bagiku bagai ‘Sebuah Permintaan Kematian’? Jika tak ada lagi rasa cintamu padaku, baiklah… untuk apa aku mempertahankan biduk rumah tangga kita. Aku tak mau bagai parasit yang nanti kalian anggap menggerogoti yang kalian punya. Paling tidak aku masih punya harga diri untuk tidak dihinakan. Aku percaya Tuhan tidak akan membiarkan aku kelaparan, aku masih punya dua tangan dan dua kaki sebagai modalku untuk mengisi perutku.


“Mas, aku telah memutuskan untuk tidak menandatangani surat persetujuan ini, jika Mas memilih jalan seperti itu, aku siap dengan konsekuensinya.” ucapku lantang seraya merobek surat itu.


Kulihat Mas Surya kaget atas reaksiku. Biarlah, aku pergi dari kehidupannya. Toh aku sudah tak dibutuhkan lagi, seorang perempuan mandul di matanya! Semoga kehidupanku tak akan berhenti setelah berpisah dengannya.

*****

Pasca perceraian kami, ternyata aku diberikan kemudahan olehNya. Tak terasa waktu  telah berlalu tiga tahun tanpa sekalipun aku bertemu dengan Mas Surya. Dan kini aku telah menemukan seorang laki-laki yang menerimaku apa adanya. Calon suamiku adalah seorang duda dengan satu anak perempuan berumur 6 tahun. Mas Rifky ditinggal mati istrinya tiga tahun yang lalu. Aku bergabung dengan perusahaannya berkat bantuan sahabat karibku yang kebetulan mengundurkan diri karena ikut suaminya ke luar negeri.

Aku percaya Tuhan itu Adil dan Maha Penyayang. Bagi mereka yang tidak berputus asa, pertolonganNya selalu ada buat kita. Terima kasih Tuhan.

*****


1330081616427711249

Desa Rangkat adalah komunitas yang terbentuk berdasarkan kesamaan minat dalam dunia tulis menulis fiksi. Jika berkenan silahkan berkunjung, berkenalan, dan bermain peran dan fiksi bersama kami di Desa Rangkat


Illustrasi : beritaterkinionline.com

Jumat, 05 Juli 2013

Arti Dirimu


Kala kubersedih, kau menghiburku.
Kala kumenangis, kau usap air mataku.
Kala kuterjatuh, kau menopangku.
Kau selalu ada untuk-ku

Kala putus asa melandaku, kau berikan semangat untuk-ku.
Kala kumerasa bodoh, kau ajari aku dengan caramu.
Kala kumembuat kesalahan, segudang maafmu untuk-ku.
Kau adalah pahlawanku.

Kala kulagi emosi, kau meredamku.
Kala kumerasa tersakiti, kau membelaku.
Kala kubimbang, kau berikan pilihan untuk-ku.
Kau bagaikan guru bagiku.

Kala kujatuh sakit, kau jaga aku.
Kala kugalau, kau tenangkan aku.
Kala kudi hina, kau tinggikan aku
Kau adalah pelindungku

Tahukah kau, kau begitu berarti bagiku.
Kau bagaikan super hero bagiku.
Kau adalah suami dan ayah anak-anak-ku
Kau adalah Gajah Mada-ku.
                   *****
Kepadamu Tuhan, kumohon :
Berikan ia kesehatan yang baik.
Berikan kemudahan untuknya
Ingatkan ia kala salah langkah
Jagalah hatinya hanya untuk-ku
Agar ia tetap menjadi Gajah Mada bagiku
Selamanya...........
**********
Special for you honey.

Kusadari



Seiring dengan berjalannya sang waktu
Dan ketika kumencoba menoleh ke belakang
Begitu banyak salah dan dosa yang kuperbuat
Kusadari, ku telah terlalu jauh berjalan
Meninggalkan jejak yang patut, maupun tidak.

Tak ingin aku mengulang kesalahan yang sama
Menyakiti orang-orang yang ada di sekelilingku
Menimbulkan amarah dan kesal di dalam hati mereka
Kusadari aku telah menciptakan kebencian
Menaburkan sesal dalam batinku

Pemahaman demi pemahaman kudapatkan
Dari pengalaman dan setiap kesalahan yang kuperbuat
Setiap kejadian kupetik hikmahnya
Kusadari, pengalaman adalah guru yang terbaik
Semoga aku tidak melakukan kesalahan yang sama dalam hidupku

Ingin ku katakan kepadamu,
Inilah aku saat ini…..
Dapatkah kau menerimaku apa adanya
Dengan segala kekurangan yang melekat padaku?
Kusadari, semua ini salahku

Tak akan terucap janji dari mulutku
Pembelaan diripun tak akan kulakukan
Biarlah salah tetap salah
KuSadari, aku harus membuktikannya dengan niat tulusku
Sebuah keputusan untuk memperbaiki salahku.
Semoga kau mengerti.
*****