Illustrasi : gaptekuupdate.nate
Aku melongok ke
kamar Dinda yang terbuka sedikit, tumben anak ini betah di kamar.
Biasanya jam segini sudah tak nampang batang hidungnya. Tatapan matanya
lurus pada layar monitor laptopnya, sedang jemarinya yang lincah
menari-nari di atas key board laptopnya. Hmmmm…. Rasa ingin tahuku
membuatku tak dapat menahan langkah kaki menghampirinya
Dinda sepertinya
mengetahui kehadiranku, tapi masih saja diam membisu. Heiii…. Apa yang
yang tertera di layar laptop membuatku terbeliak tak percaya. Rupanya
Dinda sedang menulis cerpen, bukan soal menulisnya yang membuatku kaget
tapi judulnya. Bagaimana bisa, cucuku menulis dengan judul yang sama
dengan lagu yang diciptakan seseorang puluhan tahun silam? Ya…hasil
karya bersama antara aku dengan Mas Ihsan, yang akhirnya tersimpan tanpa
pernah kulantunkan lagi sejak kepergiannya.
“Kidung Senja di Tepi Harmoni”mengingatkan
aku dengan seseorang yang kukasihi, yang terpaksa berpisah karena
memang tak patut disatukan. Aku dan dia sama-sama memiliki rasa yang
sama, yang hanya diketahui oleh kami berdua. Tak ada kata yang terucap
untuk mengukuhkan perasaan itu, hanya hati yang bicara lewat tatapan
mata dan bahasa tubuh kami. Aku mengenalnya sangat dekat, seperti dia
mengenalku. Tumbuh dan berkembang dewasa dalam lingkungan yang sama,
saban hari bertemu, bermain bersama menumbuhkan rasa lain di hati kami.
Sampai akhirnya dia terpaksa pergi untuk menghindari hal-hal yang
sekiranya akan membuat nama baik keluarga besar kami tercemar.
Suatu pagi aku
terkejut menemukan amplop lusuh warna coklat yang diselipkan di jendela
kamarku. Tak sabar kurobek dan membaca isinya. Singkat dan cukup
membuatku diam tak bergerak sekian menit. Isi surat itu sampai sekarang
masih kuhafal dengan sempurna, lengkap dengan titik, koma, dan tanda
baca lainnya.
“Menik,
kuyakin kau tahu apa yang ada di hatiku. Bertahun-tahun kebersamaan kita
walau tak pernah terucap, pasti kau mengetahuinya. Aku sungguh
menyayangimu dan akhirnya rasa sayangku tumbuh menjadi sesuatu yang
sama-sama tidak kita inginkan. Maafkan aku, aku memilih pergi
meninggalkanmu, untuk menjaga hal-jal yang tidak kita inginkan terjadi
pada keluarga besar kita. Biarlah dalam kehidupan nyata dan pandangan
orang-orang kita tetap sebagai saudara. Semoga dengan terpisahnya raga
kita dalam jarak yang cukup jauh, penyimpangan rasa itu akan kembali
pada tempatnya, sebagai kasih persaudaraan. Ibumu sudah kuanggap
sebagai ibuku juga, demikian pula dengan ayahmu. Nenek kita sama, itu
yang membuat kita harus berpikir panjang, bukan sekedar menuruti ego
kita.
Menik, aku
ingin kau meneruskan hidupmu dengan wajar, jika suatu saat kau menemui
seorang laki-laki yang baik, tukarlah rasa sayangmu kepadaku untuknya.
Berikan yang tadinya kau peruntukkan bagiku, pada dia. Jangan sedih
berlarut-larut sepeninggalanku. Maaf, aku sengaja tak mengabari
rencanaku padamu, karena aku tak kan sanggup mengungkapkannya bertatap
muka langsung denganmu. Doaku, bahagia selalu menyertaimu. Kidung Senja
di Tepi Harmoni lagu kenangan kita, semoga akan selalu melekat dalam
jiwa kita.
Ihsan”
******
Ah… Mas Ihsan,
tahukah kau rasa itu sampai saat ini masih sama seperti dulu, mana
mungkin memindahkannya bagai sebuah benda? Walau saat ini kondisi kita
telah berbeda, aku cukup senang melihatmu bahagia dengan Mbakyu Sari.
Sama sepertiku, kalianpun telah dianugerahi sepasang anak dan dan empat
orang cucu. Terakhir pertemuan kita, kutahu kau telah mampu meletakkan
rasa itu pada tempatnya. Tapi aku tidak! Rasa
itu masih begitu kukuh mendiami rongga hatiku , menyelimuti semua isinya
dan hingga sulit sekali memindahkan ke tempat lain.
Lamunanku
terhenti karena sentuhan lembut pada lenganku, Dinda menatapku heran.
Rupanya aku telah mengabaikan dua kali panggilannya. Buru-buru
kuhadiahkan sebuah senyum padanya, sambil mengacak-ngacak poninya yang
terlihat lucu.
“Eyang melamun, ya? Hmmm….. hayoo, siang-siang begini lamunin siapa?”godanya centil.
“Boleh Eyang
baca cerpenmu, Nduk? Eyang penasaran dengan judulnya itu. Kalau boleh
Eyang tahu, apa alasanmu memilih judul itu? Barangkali setelah
membacanya, Eyang jadi mengerti” pintaku mengabaikan pertanyaan tadi.
“Boleh, Eyang. Silakan baca“ balasnya sambil menggeserkan duduk dan memberikan tempat padaku agar dapat membaca dengan leluasa.
Kuhela napas
agak panjang, entah cerpen itu berdasarkan cerita nyatanya atau hanya
sekedar imajinasinya, aku menangkap intinya hampir sama dengan
perjalanan cinta masa laluku, walau tidak persis. Cara penulisan dan
pemaparan peristiwa lumayan apik. Ternyata cucuku hobby menulis.
“Jujur Eyang,
Judul itu Dinda dapatkan atas usul teman Dinda di kampus. Rencananya
cerpen ini akan kami kirim ke redaksi sebuah majalah. Dinda dan Tirta,
sama-sama suka menulis Eyang. Ini kolaborasi kami yang pertama”
Dari cerita dan
raut wajah Dinda aku menduga Tirta yang disebut sebagi temannya bukan
hanya sekedar teman biasa. Ada nada khusus dalam lafalnya tadi. Tak
tahan usilku untuk tidak menggodanya. “Hmmmmm… teman kolab sejati ya
Nduk?” senyum sumringah dengan sikapnya yang malu-malu mempertegas
dugaanku.
“Eyang, menurut
Tirta Eyang kakungnya sering sekali menyanyi lagu ciptaannya dengan
judul yang sama dengan cerpen kami. Bahkan sampai saat ini, Eyang
kakungnya masih sering melantunkan lagu itu sampai-sampai Tirta sendiri
akhirnya menyukai lagu itu, Eyang. Di akhir cerita akan kami tuliskan
syair lagu itu dalam cerpen kami”
Kalimat terakhir
Dinda membuat jantung berdetak lebih cepat dari batas normal,
mungkinkah……?! Ahhhh…… Mas Ihsan, ternyata cucu-cucu kita lebih dulu
bertemu dan jika benar dugaanku nasib mereka lebih beruntung dari nasib
kita. Tapi apakah mungkin cucumu menuntut ilmu di tempat yang sama
dengan cucuku? Bukankah Jogya banyak universitas yang bagus dan mengapa
aku sama sekali tidak mengetahuinya? Ternyata komunikasi yang terputus
membuatku tak tahu apa-apa tentangmu dan keluargamu.
“Dinda, Eyang
jadi ingin tahu bagaimana sih lagu, paling tidak syairnya lagu itu.
Judulnya membuat Eyang penasaran. Apakah syair itu ada padamu, Nduk?”
tanyaku dengan sikap penasaran yang kentara. Mudah-mudahan Dinda tidak
memperhatikan sikapku ini.
“Ada Eyang, sebentar Dinda ambilkan”
Dinda membuka
map yang berisi tumpukan kertas, mencabutnya selembar dari kumpulan
kertas lainnya dan menyodorkannya padaku. Jemariku sedikit gemetar
membaca syair itu, ada bagian dari jiwaku melayang mengingat masa silam
yang tertuang dalam bait-bait syair itu. Bagaimana tidak, ada andilku
dalam merangkai kata demi kata hingga membentuk sebuah lagu yang sangat
indah, menurutku.
Kidung Senja di Tepi Harmoni
Kidung ini kulantunkan bagimu, duhai kau pujaanku
Dengarlah, setiap rangkaian kata seolah mewakilimu
Keindahmu tertuang dalam syair laguku
Duhai pujaanku, adakah kau rasakan sama sepertiku
*
Bulan membubuy tinggi di awan
Keduanya tak terjangkau oleh jamahanku
Kau hanya dapat kupandang,tak mampu kumiliki
Rasaku-rasamu, hanya kita yang tahu
*
Elok nian sang juwita malam
Bagiku, kau lebih elok duhai gadisku
Apalah daya nasib menghendaki lain
Sampai matipun kau tak dapat kumiliki
*
Kidung ini kunamakan kidung senja
Nyanyian indah tercipta dari rasa cinta
Senja akan berganti, sayang
Dan kita harus siap menjalani
Kehidupan yang digariskan olehNya
*****
Tak sadar air
mataku menggenang di pelupuk mata, walau tak sampai tumpah. Wajah kisut
ini sudah cukup menderita menahan kerinduan yang terpendam. Akhirnya
Tuhan menghendaki lain dengan menyatukan cucu-cucu kita sebagai penerus
cinta kita. Terima kasih Gusti……
“ Nduk, Eyang berpesan padamu. Eyang senang engkau menekuni dunia tulis menulis, jadilah
penulis yang tidak hanya bisa menulis tapi mampu menyelaraskan isi
tulisanmu dengan tindakanmu sehari-hari. Jangan ikut-ikutan
teman-temanmu menyebarkan aib orang lain, dan tertawa di atas
penderitaan orang lain. Jadilah penulis yang punya prinsip”
Setelah
memberikan nasehat kepadanya, dengan setengah linglung aku keluar dari
kamar Dinda. Cucu-cucuku, semoga bahagia selalu menaungi perjalanan
hidup kalian, Amin.
*****
0 komentar:
Posting Komentar