Senin, 01 Juli 2013

Pengantin Kecilku



Sumber gambar: vemale.com

Seorang anak perempuan kira-kira berumur sepuluh tahun berteriak-teriak ketakutan. Kedua telapak tangannya ia goyang-goyangkan seolah berkata ‘jangan… Jangan’!. Sementara itu kira-kira dua meter di depan anak perempuan itu, berdiri anak laki-laki yang mungkin selisih umurnya lebih tua antara tiga sampai empat tahun dari si anak perempuan. Sambil mengacung-acungkan sesuatu yang nampaknya sangat ditakuti si anak perempuan, Anak laki-laki itu berjalan semakin mendekati si anak perempuan , dan si anak perempuan semakin mundur dari tempatnya.
“Mas Wan, jangan mas. Buang… mas!” katanya memelas. Tak nampak air mata dari anak perempuan itu walau jelas sekali ia ketakutan. Anak laki-laki itu tidak dapat berpuas diri sebelum menyaksikan jatuhnya air mata dari si anak perrempuan. Tiada kemenangan yang ia dapat, sama seperti kejadian yang sudah-sudah. Di balik tubuh mungilnya, si anak perempuan menyimpan kekerasan hati yang tak kalah dengan anak laki-laki. Itulah yang membuat Wawan sering menjahilinya.
Tiba-tiba si anak perempuan, jatuh tergetak. Rambutnya yang hitam panjang menutupi sebagian wajahnya. Mukanya pucat pasi, sedang sendalnya yang satu terlepas dari kakinya. Si anak laki-laki segera berlari menghampiri si anak perempuan, benda yang dipegangnya tadi langsung dibuangnya.
“Win… Winda,… Winda… Kamu kenapa? Bangun, Win… ! Apanya yang sakit, di mananya yang sakit? Mas Wan minta maaf, ayo dong bangun” setengah berteriak anak laki-laki yang menyebut didinya ‘Mas Wan’ itu mengguncang-guncangkan tubuh anak perempuan yang dipanggilnya ‘Winda’. Diletakkan telapak tangannya di kening Winda, sambil merapikan rambut Winda yang menutupi sebagian wajah mungil itu. Baru Wawan tahu ternyata di balik poni Winda ada tanda titik hitam tepatnya sebelah kiri keningnya.
Wawan selalu mengangumi diam-diam rambut dan wajah mungil Winda. Sejak awal, ketika bertemu Winda empat tahun lalu, Wawan sudah menyukai anak mungil itu. Seorang anak perempuan yang tidak cengeng, gesit, ramah dan baik hati. Wawan sendiri baru pindah dan menjadi tetangga Winda waktu itu.
“Maafkan mas Wan, ya Win. Mas tak sengaja membuatmu jatuh pingsan. Mas memyesal, dan mas janji tak akan menjahili kamu selamanya. Sekarang mas akan berusaha menggendongmu pulang” bisik Wawan di telinga Winda.
Jarak dari tempat mereka bermain ke rumah Winda memang tak berapa jauh, sekitar seratus meter. Wawan merasa sanggup menggendong Winda, dan harus sanggup, bukankah ia yang menyebabkan Winda tak sadarkan diri? Kalau terjadi sesuatu denagn Winda, ia tak akan memaafkan dirinya. Memang keterlaluan kelakuannya tadi.
Dengan mengalungkan tangan winda di lehernya, Wawan meletakkan tubuh mungil itu di punggungnya. Hups… Dengan sekuat tenaga Wawan mulai bangun dan berjalan meninggalkan tempat bermain mereka tadi. Dengan langkah pelan, seolah takut lebih menyakiti Winda, Wawan berjalan makin menjauhi meninggalkan taman. Dalam hati ia berjanji, akan menebus semua kesalahannya terhadap Winda.
Tiba di depan rumah Winda, Wawan bermaksud berteriak memanggil ibunya Winda, tapi belum sempat Wawan melakukannya, tiba-tiba Winda loncat dan turun dari gendongan Wawan. Dengan senyum nakal, dia meleletkan lidahnya kemudian masuk ke rumah sebelum menutup pintu rumah sempat dia berteriak “mas Wan, skors kita 1 - 1. Emangnya enak dikerjain?” Sadarlah Wawan. Ia telah tertipu akal cerdik Winda.
Sambil senyum simpul, Wawan membalikkan tubuhnya meninggalkan rumah Winda. Tak ada sama sekali rasa jengkel terlihat dari raut wajahnya, malahan perasaan lega dan senang menutupi letihnya ia menggendong Winda tadi. Sadarlah ia ternyata ia sangat ‘menyayangi’ Winda. Kenangan ini tak akan dilupakannya, seumur hidupnya. Sesungguhnya ada yang ingin dia sampaikan kepada Winda tadi, kalau Winda tidak pura-pura pingsan. Tapi biarlah…, mungkin memang tak seharusnya ia katakan, tak tega ia melihat wajah murung Winda.
*****
Dalam suatu ruangan kerja, Wawan sedang asyik membaca naskah-nasah yang masuk dalam redaksi yang ia pimpin. Ketukan pintu menyadarkannya untuk berhenti sejenak dan dari balik pintu menyembul kepala Tina, sekretarisnya mengingatkan. ” Saatnya lunch, pak” dan dijawab oleh Wawan ” duluan, Tin. Tanggung sedikit lagi selesai. Cerita ini sangat menarik hatiku”
Sepeninggalnya Tina, Wawan kembali tenggelam dalam bacaannya tadi. “Mengapa cerita ini persis seperti yang kualami lima belas tahun yang lalu. Mengapa kejadiannya sama persis dengan yang kualami dengan Winda semasa kecil kami., siapakah pengarangnya? Mengapa harapannya sama seperti harapanku, bahkan tiada henti kupinta dalam setiap doaku agar Tuhan memberikan kesempatan padaku untuk berjumpa kembali dengan Winda. Dan dalam cerita ini tokoh wanitanya berharap bertemu kembali dengan sahabat kecilnya yang menghilang tanpa pesan. Meninggalkannya dalam tanda tanya hingga ia dewasa tak jua ditemukan apa penyebabnya. Rasa kehilangan yang sama seperti yang ia rasakan”
Pengarangnya tertulis Saptariani.W, sebuah nama yang manis. Ternyata bukan dia, bukan Winda sahabat kecilnya dulu yang ia tinggalkan tak sempat pamit. Apakah ada cerita yang sama dialami oleh orang yang berbeda? Mungkin saja, namanya juga cerita. Pengarang bebas menceritakan apapun yang ada dalam pikirannya, dan bisa jadi bukan cerita nyata, tapi buah imajinasi pengarang belaka. “Sudahlah Wan, hentikan harapmu untuk bertemu dengannya. Saat ini mungkin Winda telah dimiliki oleh orang lain dan sudah punya anak-anak yang manis” gumamnya dalam hati.
*****
“Tin, kapan jadwal pertemuan dengan pengarang yang naskahnya memenuhi syarat ? ” tanya Wawan kepada Tina yang baru saja menyelesaikan makan siangnya.
“Segera setelah semua naskah terkumpul pak, biodata pengarang sedang dikumpulkan untuk dihubungi. Rasanya kali ini banyak pengarang pemula yang memenuhi syarat, tinggal kita poles sedikit saja. Ada beberapa pengarang berasal dari luar kota, ” jawab Tina. Sedikit rasa heran melihat sikap bosnya ini, tak biasanya pak Wawan menanyakan jadwal pertemuan dengan pengarang. Namun ia tak ingin bertanya lebih lanjut, biasanya jika perlu Wawan akan memberikan penjelasannya padanya.
Seminggu Kemudian,
“Tina, tolong atur jadwal pertemuan pertama dengan pengarang yang berjudulPengantin Kecilku. Saya tertarik dengan ceritanya, usahakan jangan terlalu siang. Setelah makan siang saya ada jadwal meeting dengan  toko buku untuk membahas pemasaran buku-buku terbitan kita” ucap Wawan begitu sampai kantor pagi ini.
“Baik pak, kebetulan pengarangnya sudah menyanggupi bertemu kita jam sebelas” jawab Tina. Tina memang sekretaris yang terampil, cepat tanggap dan mengerti akan kinerja yang diinginkan wawan. Mereka sebenarnya nampak serasi, sayangnya antara mereka berdua tidak ada hubungan khusus selain hubungan antara bos dan sekretaris. Sebuah team yang profesional, sehingga mereka jauh dari gunjingan karyawan yang lain.
Semua kenangan tentang Winda tiba-tiba menyeruak kembali dalam ingatan Wawan, Winda yang penuh kecerdikan selalu membalas setiap kejahilan yang dilakukannya. Dari kecil sebetulnya Wawan sudah merasa menyayangi gadis cilik itu. Demi menyenangkan Winda sering Wawan sengaja berpura-pura kalah dalam setiap permainan maupun permintaan. Ahhh… indah sekali masa kecilnya bersama Winda.
Tak sadar entah telah berapa lama ia tenggelam mengingat masa lalunya. Bukan tak pernah ia mencoba mencari Winda di tempat neneknya di mana dulu ia dititipkan. Ternyata Winda sekeluarga telah pindah dari tempat itu dan tak ada yang tahu mereka pindah ke mana? Pupus sudah harapannya untuk dapat bertemu kembali dengan sahabat kecilnya.
Ketukan pintu pada ruangan kantornya menyadarkannya, ternyata Tina yang memberitahukan kalau pengarang yang ingin ditemui Wawan telah tiba dan siap bertemu dengannya. Ada suatu harapan dan penasaran yang tak dapat ditahan oleh Wawan, akankah…?
Masuklah Tina dengan mendorong kursi yang diatasnya duduk seorang gadis kira-kira 25 tahun.
“Pak, ini pengarang buku Pengantin Kecilku. Dan Mbak Riani, ini pak Setiawan pimpinan redaksi majalah kami. Beliau mungkin akan bertanya sedikit pada mbak. Saya tinggal ya, mbak” ujar Tina kemudian melangkah keluar dari ruangan itu.
Wawan mengulurkan tangannya pada gadis itu, ” apa kabar,mbak?” Salam pembuka dari Wawan. Matanya menatap dengan agak menyelidik pada wajah gadis di depannya. Sikap gadis itu sangat tenang terkendali, sosok wanita yang mandiri dan tegar. Cacat yang menempel pada dirinya tak membuatnya rendah diri, sama sekali tidak kelihatan nervous. Dalam hati Wawan memuji sikap gadis di depannya, persis sikap Winda sahabat kecilnya dulu. Tidak cengeng, mandiri dan tak pernah merasa takut kecuali dengan….
Agak kecewa Wawan  karena yang hadir di hadapannya sekarang ternyata bukan Winda. Winda dalam bayangannya adalah  sosok gadis yang tak mungkin cacat, lincah dengan sepasang kakinya yang tak pernah diam. Yang selalu mampu membalas setiap kejahilan yang dilakukannya.  Persamaan gadis ini dengan Winda hanya  pada sikap percaya dirinya. Sepertinya gadis ini agak pendiam dan tertutup, entah karena merasa dirinya cacat atau bisa jadi memang pembawaannya begitu.
“Mbak Riani, kami tertarik dengan naskah mbak, dan kami bermaksud menerbitkannya dalam bentuk novel. Jika ada bagian-bagian dalam tulisan mbak yang kurang greget, kurang begini atau kurang begitu akan kami perbaiki dalam pengeditan. Kami akan kirim hasil akhirnya ke mbak. Jika mbak setuju maka tahap pencetakan akan kami lakukan. Apakah mbak keberatan?” tanya Wawan
“Sama sekali tidak, pak. Asal tidak menyimpang terlalu jauh dari cerita aslinya, silakan saja. Saya penulis pemula, tentu banyak kesalahan dalam hal penulisan maupun tata bahasanya. Menurut pendapatku, bukan hanya pihak penerbit saja yang ingin menerbitkan bukunya seprima mungkin. Pengarang pun ingin menghasilkan suatu karya sesempurna mungkin yang bisa dilakukannya” balas Riani.
“Jika demikian kami akan menyiapkan kontrak perjanjiannya, segala sesuatu hak dan kewajiban tercantum di dalamnya. Tolong mbak pelajari, jika tak keberatan bisa menanda tanganinya di sini. Tapi jika mbak memerlukan waktu untuk mempelajari, boleh juga mbak bawa pulang dan mengembalikan secepatnya pada kami”
“Untuk menghemat waktu, biarlah saya mempelajari di sini pak, mengingat keterbatasan saya, agak riskan jika saya harus bolak-balik ke mari. Beri saya waktu tiga puluh menit untuk mempelajari surat kontrak itu, dan saya akan langsung bertanya jika ada bagian yang tidak saya mengerti atau terasa berat buat saya” tegas sekali ucapan gadis itu.
Wawan segera memanggil Tina untuk segera menyiapkan surat kontrak tersebut, memang sebetulnya Tina sudah menyiapkannya dari tadi. Tinggal menunggu instruksi dari wawan saja.
Wawan membiarkan Riani mempelajari isi perjanjian yang disodorkan padanya, nampak serius sekali dia membaca satu persatu pasal dalam kontrak tersebut. “ Hmmm… gadis ini sangat teliti dan kelihatan tidak sembarangan menerima begitu saja apa-apa yang tertera dalam kertas putih itu” batin Wawan memuji.
Wawan bukanlah laki-laki yang tidak mengerti etika, tapi entah mengapa ia memakai kesempatan Riani yang sedang serius mempelajari isi kontrak untuk menatap dengan seksama wajah di depannya itu. Seolah mencari-cari sosok lain dalam diri Riani. Masihkah ia mengharapkan sosok Winda menjelma pada diri Riani?
Mungkin ada pasal yang kurang dimengerti oleh Riani , tak sengaja iamemegang keningnya hingga poninya sebelah kiri terangkat sedikit. Gerakan ini tak luput dari penglihatan Wawan, dan alangkah kagetnya Wawan ternyata Riani mempunyai tanda yang sama seperti Winda kecilnya. Winda yang selama ini dirindukannya, apakah Riani adalah Winda? Pikirnya.
Ketegangan meliputi hati Wawan, namun ia berusaha sabar menunggu Riani menyelesaikan aktifitasnya. Dia harus mencari cara untuk mengetahui apakah perkiraannya benar.
Tiba-Tiba Riani mengangkat kepalanya, sementara mata Wawan belum beralih dari wajah Riani. Dua mata saling beradu, dan berakhir dengan senyuman dari ke duanya. “ Ada yang kurang jelas, mbak? Silakan tanyakan sebelum ditanda tangani” ujar Wawan menutup rasa jengah karena ketahuan sedang memperhatikan gadis itu.
“ Saya rasa semua isi perjanjian ini cukup fair pak, dan saya menyetujui semua yang tertera dalam perjanjian ini. Baik, akan saya tanda tangani dan isi bagian yang harus saya isi” jawab Riani.
“ Nanti dulu, Winda!” kata Wawan tiba-tiba. Dan alangkah kagetnya Wawan menyaksikan perubahan wajah Riani yang tak kalah terkejutnya.
“Dari mana bapak mengetahui nama kecil saya? Seingat saya, tak pernah nama kecil itu saya cantumkan dalam pengiriman naskah saya?” balas Riani dengan penasaran.
“ Jadi, benar kamu adalah Winda kecil yang sangat takut dengan bulu ayam?”
“Siapa sebenarnya bapak? Mengapa bapak mengetahui nama kecil saya dan kelemahan saya. Tolong jangan biarkan saya mereka-reka penasaran!
“Ingatkah kamu dengan seseorang yang dulu sering mengalah padamu, juga sering menjahilimu? Ingatkah ketika kamu menangis karena seseorang menolak permintaanmu untuk bermain pengantin-pengantinan karena dia merasa tidak pantas walau hanya menjadi pengantin kecilmu? Dan yang terakhir ingatkah kamu, seseorang yang kamu jahili hingga terpaksa menggendongmu dari taman sampai ke rumah?” ujar wawan terbahak ketika selesai menjawab pertanyaan Riani.
“Wawan, benar kamu mas Wawan? Benarkah kamu sahabat kecilku yang super iseng dan paling takut dengan kecoa?” balas Riani setengah berteriak.
Tak terasa dua pasang mata dari dua anak manusia itu telah dipenuhi air mata. Air mata kebahagiaan, karena telah menemukan apa yang mereka cari selama ini. Wawan mengerti, Winda dalam sosok Riani merindukannya. Terbukti dari naskah ‘Pengantin Kecil‘ yang menceritakan pencarian Winda terhadap dirinya. Sama seperti Wawan yang selama ini juga mencari keberadaan Winda.
“Aku tertarik dengan naskahmu karena aku merasa ada aku dalam bagian cerita itu. Aku berharap, penulisnya adalah kamu Win. Sempat ku kecewa melihat nama yang tercantum dalam naskah itu Saptariani.W bukan Winda seperti nama yang kukenal dulu. Saat terakhir yang membuatku berani gambling memanggilmu dengan nama ‘Winda’ karena melihat titik hitam di keningmu saat kau tak sengaja tadi mengangkat ponimu” ujar Wawan sumringah.
“Mas, kalau kau jeli huruf ‘W’ di belakang namaku itu adalah ‘Winda’. Sengaja aku samarkan untuk nama penaku. Ternyata walau tak sengaja, aku masih sanggup mengerjaimu seperti biasanya, kan?” kata Winda sambil cekikan. Sekarang Wawan melihat kembali sosok Winda kecilnya yang jahil. Kedua matanya terpejam mengucapkan syukur padaNya atas didengarnya doa-doanya. Bertemu dengan Winda adalah harapan terbesarnya.
“ Win, kakimu…?”
“Iya mas, tiga bulan yang lalu aku kurang hati-hati menyeberang. Akibatnya sebuah motor yang melaju kencang menabrakku. Jadilah aku seperti sekarang ini, kursi roda sebagai pengganti kakiku. Bulan depan aku akan menjalani operasi pemasangan pen sebagai pengganti tulangku yang patah” jawab Winda sedih.
“Jangan putus asa,Win. Ilmu kedokteran sekarang sudah canggih. Kuyakin kakimu pasti akan sembuh seperti semula. Biarkan aku mengantarkan kau pulang, sekalian tahu alamatmu dan kangen dengan kedua orang tuamu”
 Dulu aku menolak menjadi pengantin kecilmu, sekarang giliran aku bertanya padamu. Duhai pengantin kecilku, bersediakah sekarang engkau menjadi pengantin sungguhanku? Jangan pungkiri apa kata hatimu, karena lewat tulisanmu aku mengetahui apa yang kau rasakan. Tak jauh berbeda denganku” seloroh Wawan membuat Winda tersipu malu.
“ Dengan senang hati, mas Wawan. Asalkan kau bersedia menangkap seribu kecoa sebagai kado pernikahan kita nantinya” tak mau kalah Winda membalas Wawan. Nah lho….?
*****
“Percayakah anda tentang jodoh di tangan Tuhan? Kalau Tuhan menghendaki, walau terpisah ribuan mil tetap saja akan bertemu. Tak ada yang tak mungkin bagiNya, asal kita percaya”

0 komentar:

Posting Komentar