Selasa, 02 Juli 2013

Renungan Akhir Sepasang Suami-Istri



Gambar: theatlantic.com


Perempuan  itu bersimpuh di sebuah nisan, tak bergerak. Hampir tiga puluh menit berlalu tetap dengan posisi yang sama. Kepalanya menunduk dengan kedua tangan di atas pahanya. Butiran air mata dibiarkannya menganak sungai di pelupuk matanya, sebagiannya lagi tumpah membasahi pipinya yang masih menyisakan tanda-tanda kecantikannya.

Sementara itu dibalik sebuah pohon, seorang laki-laki memperhatikan tingkah laku perempuan itu. Sama dengan si perempuan, laki-laki ini pun terdiam. Hanya saja, jemari dari kedua tangan saling meremas, sebentar termenung, terkadang matanya nanar. Yang terdengar hanya beberapa kali helaan berat napasnya.
*****
“Ma, tolong bereskan pisau di bangku depan ya. Papa buru-buru, hampir terlambat!”
Begitu teriakanmu padaku pagi itu. Memang kebiasaanmu, bukan karena hampir terlambat, tetapi memang enggan membereskan sesuatu pada tempatnya. Bagiku sudah biasa menjadi team pemberesmu, tinggal teriak, perintah dan aku yang merapikannya.

“Iya, Pa. Sebentar mama bereskan setelah selesai ngurusin si dedek”.

Memang saat itu aku sedang mengurusi si kecil, buah hati kami satu-satunya yang berumur dua tahun. Delapan tahun menikah, dan berobat ke sana ke sini, akhirnya Tuhan memercayakan kami untuk mengurus seorang anak laki-laki. Anak kami lahir di saat kami telah pasrah, sebuah kejutan yang membahagiakan bagi umatNya yang telah lelah berharap. Kusyukuri nikmat ini dengan linangan air mata, demikian pula dengan suamiku.

Karena memang masih banyak pekerjaan rutin yang harus kubereskan, setelah selesai mengurus si kecil akupun melanjutkan yang tertunda tadi. Si kecil memang sedang nakal-nakalnya, tak mau diam. Bunyi ketel di dapur membuatku melepaskannya sebentar, aku lupa sedang menjerang air untuk mandi si kecil. Mulailah aku mempersiapkan peralatan mandi untuk anakku, kesibukan membuatku lengah dan melupakan tugas yang diamanatkan suamiku tadi.

Baru saja selesai aku menuangkan air panas ke ember, kudengar jeritan anakku di ruangan depan. Saat itu juga rasanya jantungku berhenti berdetak, dengan kecepatan melebihi kemampuanku aku berlari mencari asal suara tadi.

Apa yang kusaksikan membuat kakiku lumpuh, di sekujur tubuh anakku bersimbah darah dengan pisau menancap di bagian dadanya. Duniaku berhenti berputar, aku termangu dan semuanya gelap.

Begitu sadar, kulihat suamiku dengan tatapannya yang seolah hendak menelanku hidup-hidup. Tanpa berkata, lewat sorot matanya seolah mendakwaku “Kau telah membunuh anakmu sendiri, kau ibu yang kejam dan istri yang teledor. Apa yang dapat kuharapkan dari perempuan sepertimu? Aku lunglai dan tak tahu harus berbuat apa.
*****
“Kuiringi kepergianmu dengan sejuta luka, Nak. Maafkanlah mama yang hanya manusia biasa, tak sanggup menjagamu hingga kau pergi. Sungguh, mama tak sengaja melakukan semua itu! Andai waktu dapat diputar kembali, mama janji tak akan melepaskanmu barang sedetik pun.

Sekarang tinggallah mama menyesali apa yang sudah terjadi. Sempat mama menuduh Tuhan kejam dan tak adil, mengapa memberikan kebahagiaan kepada kita sesingkat ini? Akhirnya mama menyadari Nak, semua ini adalah kehendakNya. Sebab kita sebagai manusia hanyalah wayang, yang mengikuti kehendak Sang Dalang.

Tidak demikian dengan papamu, Nak. Papa meninggalkan mama dalam kesendirian , meratapi kepergianmu dengan rasa penyesalan yang tak berkesudahan. Tak ada seorang pun yang menghibur mama. Seorang ibu yang tega menjadi sebab kematian anaknya. Sebagian besar tetangga kita memandang sinis pada mama, Nak. Tahukah kau, anakku? Mama ingin segera menyusulmu dengan menancapkan pisau itu ke dada mama. Tapi sebuah bisikan mengingatkan mama untuk mengurungkan niat itu, Nak. Seperti ini bisikan itu di telinga mama “ jika kau lakukan itu kau tak akan bertemu dengan anakmu yang masih suci di Surga” 

Mama membatalkannya Nak, dengan harapan jika saatnya tiba kita akan berkumpul bersama lagi. Akan mama jelaskan kepadamu, mama tak sengaja menyebabkan kematianmu. Tak ada sedikit pun maksud mama membuat papamu bersedih. Membuat keluarga kita tercerai berai, hingga saat ini mama tak pernah berjumpa dengan papamu. Entah saat ini dia ada di mana dan bagaimana keadaannya? Hukuman ini mama terima dengan ikhlas, Nak. Mama sama sekali tak menyalahkan papamu, memang papa pantas berbuat demikian. Anakku, tunggulah mama di sana. Mama rasa, tak akan lama lagi mama akan segera menjumpaimu. Jika saat itu tiba, sambutlah mama dengan merentangkan kedua tanganmu”.
*****
Sementara laki-laki itu masih belum beranjak dari tempat pengintaiannya, penyesalan yang terlambat disadari olehnya. Slide demi slide bentang kejadian dari awal hingga akhir bagai pertunjukan film yang diputar di depan matanya. Apakah bijak lakunya melarikan diri dan membiarkan ibu dari anaknya menghadapi penderitaan seorang diri? Predikat pengecut dan pecundang lebih cocok disandangnya.

Perempuan yang sedang bersimpuh itu jauh lebih kuat, Dia harus menghadapi siksa berupa penyesalan dan rasa bersalah seumur hidupnya. Lihatlah dia, Ia begitu tegar menjalani bagian dari kehidupan yang digariskan Tuhan terhadapnya. Dan kau? Kau hanya menyesali yang sudah terjadi, menyalahkan dan melimpahkan semua kesalahan padanya. Bukankah sebagi suami, seharusnya kau menghiburnya, mengusap setiap air mata penyesalan bergulir di pipinya, atau…. Menghiburnya atas semua kesedihan yang dirasakannya? Tapi kau malah ikut andil menyiksanya, menuangkan cuka di atas luka-lukanya, membiarkannya berjalan di atas pecahan kaca dalam sepanjang perjalanan hidupnya,  saat Dia hampir gila menghadapi cemoohan tetangga, di mana kau saat itu?

Kau asyik membanggakan  dukamu, memperlihatkan kesedihanmu bak gadis yang kehilangan kosmetiknya. Bukankah kau ikut andil dalam kejadian berdarah itu? Tidakkah kau merasa sedikit bersalah, dan mengambil alih sebagian rasa bersalah istrimu untuk kau pikul? Hei….kau sukses menambah penderitaan istrimu, dan sekarang mengapa baru terpikir olehmu untuk menemuinya dan merajut kembali benang merah yang dulu kau putuskan setelah lima belas tahun membiarkannya dalam kesendirian?
*****
Lunglai sudah kedua tungkai lelaki itu, dia terduduk dan isaknya mewakili penyesalan yang hampir terlambat disadari olehnya. Bagai anak kecil menagislah ia sesengukan, pukulan telak baru dirasakannya saat ini. Kedua telapak tangannya yang mulai keriput menutupi seluruh wajahnya, memang wajah itu tidak layak diperlihatkan di depan istrinya.

Tanpa disadarinya, sebuah tepukan lembut mendarat di bahunya. Selembar sapu tangan berwarna hijau tosca disodorkan di depan mukanya.
Pakailah sapu tangan ini untuk mengusap air matamu, Pa. Jangan biarkan anak kita melihat kedua orang tuanya menangisi kepergiannya. Di alam sana, anak kita telah bahagia, tinggal kita yang harus menjalani sisa umur kita. Untuk apa kita menyesali yang sudah terjadi, bagaimana pun bentuk penyesalan kita, bahkan air mata darah sekali pun yang kita keluarkan tak akan membuat anak kita hidup kembali. Ikhlaskan  Dia, sebab ini adalah rencana  Tuhan terhadap keluarga kita. Tanggung jawab kita adalah menjalani sisa hidup kita sebaik mungin. Mempergunakannya sesuai dengan apa yang diperintahkan kepada kita, kemudian mempertanggung jawabkannya jika saatnya telah tiba”
*****
Sebuah renungan, lebih penting bagi kita untuk memberikan perhatian kepada yang masih hidup. Tak akan ada gunanya menyesali yang sudah terjadi, menangisinya  tak berkesudahan, bahkan mengalirkan tetasan air mata darah sekali pun tak membuat yang sudah meninggal hidup kembali.

0 komentar:

Posting Komentar