Senin, 01 Juli 2013

Sayang, Tunggulah Aku di Sana



Gambar : arantau.wordpress.com


Aku berada di kotamu, sayang.  Kau tahu, nyeri itu sampai sekarang masih tak mau pergi dariku, walau belasan tahun sudah kejadian itu berlalu. Kukatakan padamu, aku tak akan berusaha untuk menyembuhkan perih itu dari hatiku, sebab semakin sakit itu kurasa, kuharap akan sedikit mengurangi rasa bersalahku padamu. Kuyakini, bila rasa nyeri itu hilang, artinya kau telah memaafkanku. Jika saat itu tiba, aku akan segera menyusulmu di sana.

Saat ini aku mengunjungi rumah abadimu, rumah abadiku pun terletak di sebelah rumahmu. Aku mengambil keputusan untuk bertetangga denganmu karena aku ingin nantinya kita selalu dekat. Aku tak peduli kau suka atau tidak, sebab aku tahu, tak mungkin kau mampu melarangku melakukannya.

Aku putus asa dengan kehidupanku setelah kau pergi meninggalkanku, terlebih  aku belum sempat mengutarakan kebenaran yang sesungguhnya padamu. Ahhhhh…. ampunkan apa yang pernah kulakukan padamu, sebab semua itu hanya untuk menutupi keangkuhanku yang telah kalah oleh rasa cinta yang kutakuti. Aku sudah mengambil keputusan untuk tidak tunduk oleh cinta, dan kau? Kau datang mengajuk dan mengacaukan semua pertahananku, membuatku hampir tak berdaya dan tetunduk lemah oleh sebuah rasa yang disebut ‘cinta’.

Kuingat siang itu kau datang dengan memohon padaku, wajahmu memelas mengharapkan kemurahan hatiku untuk mengantarmu ke suatu tempat yang tidak kusukai. Apa jawabku, saat itu? “Tidakkah kau lihat aku lagi sibuk, pergilah sendiri. Kau kan punya kaki dan tahu jalan menuju ke sana? Jadi, pergilah dan jangan ganggu aku!” rupanya itulah percakapan terakhir denganmu.

Sedetik kemudian kudengar kau luapkan kemarahanmu, yang sempat membuatku heran dari mana kau mendapatkan rangkaian kalimat yang panas dan berapi-api itu. Kau katakan padaku dengan lantang “benarlah ternyata dugaanku selama ini, kau ternyata tak sungguh-sungguh mencintaiku! Aku hanya kau jadikan pengusir sepi belaka. Andai kau mencintaiku, sedikit saja! Tak mungkin kau tega menolak permintaanku sementara kau mampu menyanggupinya. Tahulah aku sekarang, di mana sebenarnya aku kau tempatkan!” teriakmu sambil berlinang air mata, telunjukmu yang runcing menunjuk ke arahku.

Jangan kau anggap aku tak punya hati melihat butiran kristal yang mengalir dari kedua kornea matamu. Batinku menangis dan merintih, berperang antara mempertahankan ego lalu menang atau menuruti kata hatiku untuk bersamamu, kemudian kalah! Terlanjur sudah kulakukan, dengan mengeraskan hati kubiarkan kau berlari kencang meninggalkanku, tanpa berusaha mengejarmu.

Aku menyesal, setelah itu aku tak mengetahui apa yang terjadi selajutnya denganmu. Aku laki-laki pengecut, yang tak pernah mengerti perasaan perempuan, sekali pun perempuan yang kukasihi. Biasanya beberapa hari setelah kemarahanmu, kau akan menghubungiku kembali dan melupakan semua perlakuanku padamu. Tapi tidak untuk kali ini! Sehari, dua hari, lima hari hingga seminggu tak jua kau datang menemuiku seperti biasanya. Tak mungkin kau lupa nomor telponku kan? Jadi pasti ada sesuatu yang terjadi padamu. Rasa egoku sebagai laki-laki yang tak mau kalah dengan ‘rasa itu membuatku tak bergeming mencari tahu tentangmu. Aku merasa menang jika kau yang datang mencariku, menghiba padaku dengan alasan cintamu padaku.

Sampai pada hari ke delapan, bagai halilintar menyambar tubuhku kala berita itu kuterima dari sahabatmu. Saat itu semuanya sudah terlambat! Sahabatmu menceritakan semuanya yang terjadi padamu pada hari yang sama saat kau datang menemuiku, kau mengalami kecelakaan. Sebuah mobil sedan menabrakmu, hingga membuat tubuh mungilmu terpelanting sejauh lima meter. Sejak saat itu kau sama sekali tak sadarkan diri hingga tarikan napas terakhirmu.

Apa yang kulakukan setelah itu? Dengan langkah gontai aku melangkah masuk ke kamarku, meneteskan airmata, tidak terlalu banyak. Tapi rasa sesak akibat penyesalan menghimpit rongga dadaku, membuatku merasa sulit untuk bernapas. Apa lagi yang kulakukan, semuanya sudah terlambat, kau pergi dengan membawa sejuta kemarahan kepadaku. Aku menerima semua kebencianmu terhadapku, kuterima dengan ikhlas.

Berdasarkan informasi sahabatmu, aku tahu hari itu kau akan dimakamkan di kota asalmu. Aku membuntuti iringan orang-orang yang mencintaimu mengantarmu ke tempat peristirahatan terakhir tanpa seorang pun dari meraka yang mengetahuinya. Kudatangi kantor pemakaman itu dan memesan kavling di sampingmu sebagai rumah abadiku.

Sekarang, delapan belas tahun telah berlalu. Setiap tahun aku pasti datang menjengukmu di rumah abadimu, membersihkan rumahmu dan juga rumah di sampingnya yang belum berpenghuni. Itu rumahku!

Sayang, kuungkap kebenaran yang sesungguhnya padamu, aku mencintaimu! Aku menang karena egoku, tapi aku kalah seumur hidupku. Aku tak pernah bisa mencintai gadis lain dalam sisa umurku, tak akan bisa. Sayang, tunggu aku di sana.
*****

0 komentar:

Posting Komentar