Illustrasi : hot.detik.com
Dalam sebuah restoran yang lumayan ramai, kududuk di posisi sudut sebelah kanan dari ruangan yang lumayan luas itu. Aku memang selalu mencari tempat duduk yang strategis menurutku, yang tenang . Maka kupilih di sudut ruangan, karena menurut pendapatku jarang sekali orang yang akan lalu lalang, sehingga aku akan terhindar dari gangguan yang tak kuinginkan.
Adjie sudah hafal akan kebiasaanku, bahkan tanpa bertanya sekalipun dia pasti dapat menebak kira-kira di mana lokasi tempat dudukku. Cukup mencari ke arah empat sudut dalam ruangan itu, pasti aku ada di salah satu sudutnya. Aku dan dia kebetulan memang tak suka keramaian, suara gaduh dan berisik malah membuat kami semakin stress. Kami menyebutnya dengan keheningan yang berkwalitas, dimana lewat keheningan itu kami dapat konsentrasi mengerjakan sesuatu.
Jus jeruk hangat yang kupesan tadi tinggal setengahnya, Adjie belum juga menampakan batang hidungnya. Aku tahu pasti ada sesuatu yang membuatnya terlambat. Lima belas menit yang lalu ada sebuah pesan yang ditinggalkannya lewat HP bututku. “Say, aku telat kayaknya. Ada tugas mendadak dari Direksi yang harus kuselesaikan segera. Please…… maafkan aku, terpaksa membuatmu menunggu. Janji, segera setelah urusan selesai aku akan segera meluncur ke sana”
Aku paling tak suka menunggu, dengan alasan apapun! Bayangkan saja, hanya duduk diam tanpa berbuat apa-apa bukankah seperti orang yang kurang kerjaan? Aku orang yang sangat menghargai waktu, kuingin waktuku terpakai untuk hal yang berguna, paling tidak menyenangkanku. Apa yang dapat kulakukan agar rasa bosan pergi dariku, aku harus mencari sesuatu!
Mulailah kuedarkan padanganku ke semua arah dalam ruangan itu. Heiiii…..aku tertarik dengan pasangan yang duduk di seberang mejaku. Mungkin mereka satu selera denganku, pojok mania…. kuperhatikan mereka asyik dengan makanan masing-masing, makan tanpa suara juga tak saling memperhatikan satu sama lain. Yang wanita mengenakan rok bermotif bunga-bunga kecil dengan warna dasar biru. Puncak kepala si laki-laki mengkilat seperti telur rebus yang sedang ia makan. aku menduga pasangan itu sedang marahan, atau salah
satunya sedang sakit sariawan.
Apa enaknya makan berdua tapi seolah sendiri-sendiri. Yang wanita makan dengan sangat
pelan seolah sangat menikmati makanannya. Apakah suaminya yang sudah keriput itu tidak menarik lagi hingga tak perlu dipandang, disentuh atau diperhatikan. Andai suaminya keriput, toh si wanita juga tak ada bedanya, sama-sama keriput! Sedang sang suami-pun tak kalah cueknya. Konsentrasi banget dengan makanan yang ada di depannya, sepertinya makanan itu jauh lebih menarik jika dibandingkan dengan wanita di sampingnya. Pasangan yang aneh menurutku.
Keheningan yang melingkupi mereka, aku melihatnya seperti kekosongan yang melankolis. Keheningan pasangan itu mengusik pikiranku ” Alangkah menyedihkan jika tak ada lagi yang dapat dibicarakan berdua dengan pasangan, tak ada lagi lembaran-lembaran masa lalu yang dapat diputar kembali dalam bentuk kata-kata” andai itu terjadi pada kami, apa yang harus kami lakukan. Mengerikan sekali…..
Adjie terlambat tiga puluh menit dari jadwal pertemuan kami. Kedatangannya menghentikan sejenak perhatianku terhadap pasangan kakek nenek itu. Masih kusempatkan melirik pasangan antik itu, dan ternyata masih seperti tadi. Hening melankolis masih menaungi mereka, tetap dengan kondisi seperti tadi saling diam. Sementara aku dan Adji sudah hampir menyelesaikan acara makan kami. Memang kuakui kamipun bukanlah pasangan yang heboh, yang penuh canda tawa atau pasangan romantis. Biasa saja.. tapi yang pasti kami tidak seperti pasangan eyang- eyang di seberang itu.
Adjie menyelesaikan pembayaran atas segala sesuatu yang kami makan, kulihat dengan ekor mataku pasangan yang menarik perhatianku masih belum beranjak dari duduknya. Lama sekali ritual makan mereka, apa karena gigi- giginya sudah ompong ya? Hihihihihi…… Membayangkan aku juga akan seperti mereka membuatku tersenyum sendiri. Saat ini aku mentertawakan mereka, dan suatu saat nanti giliranku ditertawakan.
Ketika meninggalkan restoran, kami melewati meja pasangan itu. Tiba-tiba bola kecil terlempar di dekat kakiku, bermaksud membantu anak kecil si pemilik bola, aku jongkok memungut bola itu. Apa yang kusaksikan membuatku tersentuh dan mengubah pendapatku tentang pasangan eyang yang sejak tadi mengusik pikiranku. Ternyata mereka makan sambil berpegangan tangan lembut. Jari jemari satu sama lain saling membelai di bawah meja makan.
Aku menegakkan tubuhku. Aku sangat tersentuh dengan pemandangan yang baru saja kusaksikan. Sebuah tindak sederhana tapi penuh makna, yang mencerminkan begitu dekatnya hubungan mereka. Mereka tak perlu secara vulgar memperlihatkan di muka umum. Cukup hanya mereka berdua yang tahu dan merasakan kedekatan mereka dan makna hening yang mereka lakukan adalah hening yang berkwalitas. Keheningan mereka bukanlah keheningan yang tidak nyaman seperti anggapanku pada mulanya. Melainkan suatu keheningan yang rileks dan nyaman. Kusebut sebagai “Hening Yang Syahdu…“
Aku merasa istimewa karena telah diberikan kesempatan menyaksikan pemandangan tadi. Belaian lembut jemari keriput dari lelaki tua itu pada tangan istrinya tak kalah keriputnya, yang semasa muda telah merawatnya, merawat anak-anak mereka dan , serasa mendapat imbalan yang setimpal. Suatu penghargaan yang sangat berarti bagi semua istri .
“Aku ternyata telah tertipu dengan pandangan kasat mataku. Sering kali kita mengambil kesimpulan atas suatu keadaan berdasarkan apa yang terlihat oleh mata kasar kita, padahal apa yang nampak belum tentu sama dengan apa yang terjadi sesungguhnya”
******