Sumber gambar : wisreinia.blogspot.com |
Mataku dari jauh
mencari-cari sosoknya. Rasaku ada yang hilang sejak beberapa hari ini
tidak melihatnya. Sakitkah dia atau dia sudah pindah ke tempat lain?
Seingatku hari terakhir berjumpa dengannya dia nampak sehat walau hanya
duduk diam tanpa suara dan tanpa bicara.
Sapaan bapak
pedagang tas membuka jalan bagiku untuk menuntaskan rasa penasaranku.
Diawali dengan sebuah senyuman kubalas ucapan selamat pagi pak Ito “
pagi pak. Semoga hari ini laris, ya”. Kemudian dibalas olehnya dengan
“Alhamdulillah, mbak”.
“Kok sudah 3
hari bapak yang biasanya duduk di samping nggak kelihatan, pak. Ke mana
ya dia?” kulontarkan pertanyaan yang sudah mengendap 3 hari.
“ Nggak tahu juga, mbak. Terakhir sih kelihatannya dia sehat” jawab pak Ito. “
“Apa mungkin
pindah tempat ya, pak” kulontarkan lagi rasa penasaranku seolah ingin
memastikan bahwa itulah yang benar dan sesuai harapanku.
Aku memang tidak
begitu mengenal mereka secara dekat. Hanya saja aku merasa mereka sudah
menjadi bagian dari kehidupanku setiap harinya. Seperti pak Ito, sudah
lebih dari 5 tahun menggelar dagangan di emperan gedung itu.
Teringat awal
perkenalanku dengan pak Ito, laki-laki asal Sumatera itu Nampak
ketakutan ketika mobil rombongan kamtib membersihkan dagangan
teman-temannya di sekitar daerah itu. Dengan lemas dan tak berdaya pak
Ito terlihat pasrah. Sementara aku yang menyaksikan peristiwa itu
terenyuh tanpa berbuat apa-apa.
Dengan upaya
terakhir, kuteriakan pada pak Ito “ cepetan pak, selamatkan barang
dagangan bapak. Sini saya bantu!” Kebetulan saat itu pak Ito menggelar
dagangannya beralaskan karung, itu memudahkan kami segera menggotong
tas-tas yang di atasnya dan menyembunyikannya ke tempat yang aman.
Rasa terima
kasih terucap lewat bibir pak Ito, tidak seberapa jika dibandingkan
dengan kebahagiaanku dapat menolongnya. Aku menghargai upaya mereka
untuk mencari rejeki yang halal. Daripada mereka mencuri, merampok atau
melakukan tindakan kriminal lainnya untuk menghidupi anak istrinya.
Biarlah mereka berdagang dan sedikit melanggar aturan karena di trotoar
yang mungkin akan mengganggu pejalan kaki lainnya.
“Mbak ada keperluan apa mencari ‘si bapak’?” pertanyaan pak Ito menyadarkanku.
“Ah… nggak pak,
hanya heran saja. Tidak biasanya ‘si bapak’ absen sampai 3 hari. Semoga
saja bukan karena sakit ya, pak?” jawabku seraya mencari dukungan akan
harapku.
‘Si bapak’
adalah seorang pengemis yang cacat, tidak dapat melihat dan juga tidak
bisa berjalan. Seseorang bagian dari komunitas kita yang kurang
beruntung nasibnya. Setiap hari, bertahun-tahun, selalu setia duduk
beralaskan Koran menadahkan tangannya. Mengharap belas kasih orang-orang
yang lewat. Sempat kubayangkan tak penatkah ia mengangkat tangan begitu
lama? Sedang jika kupraktekkan setengah jam saja, aku tak akan
sanggup.
“Terima kasih”
imbalan atas sesuatu yang diterimanya serasa sangat merdu di telingaku
kala aku membagi sebagian kecil dari isi dompetku. Biasanya kubalas
dengan senyuman, walau aku tahu si bapak tak akan bisa melihatnya.
Tiga hari tak
melihatnya, terasa ada yang lain dalam hari-hariku. Tak ada yang dapat
kulakukan untukmu ‘bapak’ selain mendoakanmu “semoga engkau baik-baik
saja, di manapun engkau berada saat ini”. Tak ada keterikatan apapun
antara engkau dan aku, tapi kata hati kecilku “Aku berempati denganmu” walau tak dapat membantumu.
*****
Kita
sering merasa bahwa diri kita adalah orang yang paling sengsara,
cobalah tengok di bawah. Banyak sekali orang-orang yang lebih kurang
beruntung dari kita. Maka bersyukurlah apa yang telah kita dapati saat
ini. Paling tidak Tuhan telah memberikan kelebihan pada kita dengan
anggota tubuh yang lengkap dan sempurna.
oooooOOOooooo
Untuk membaca karya peseta lain silahkan menuju Akun FiksianaCommnuity
0 komentar:
Posting Komentar