Pagi
ini cuaca mendung, semendung hatiku saat ini. Sedih dan khawatir karena
mulai hari ini, tepatnya beberapa jam lagi aku harus berpisah dengan
kampung halamanku. Bukan hanya itu saja, aku akan kehilangan kehangatan
dari semua anggota keluargaku, orang-orang yang kusayangi dan juga
menyayangiku. Mama, papa dan saudara-saudaraku, kumohon doa kalian agar
aku dapat melewati semua tantangan yang terbentang di depanku. Sesuatu
yang aku sendiri tak dapat mengira-ngira seperti apa yang akan kuhadapi
di kota yang kata orang sebagai gudang sejuta harapan ” Jakarta”
Kupandangi
sekelilingku seolah ingin merekam semua yang nampak di sekitarku , kan
ku ingat dalam anganku jika suatu hari kelak aku merindukan suasana
seperti ini. Bagaimana pun juga di sinilah tempat aku dilahirkan,
dibesarkan, bersekolah dan menghabiskan waktuku belasan tahun hingga
sekarang. Begitu banyak kenangan yang terjadi dan tersimpan di tempat
ini. Dan sekarang aku harus terbang ke tempat asing yang sama sekali
belum pernah kuinjakkan kakiku di sana. Kubulatkan tekadku jika aku
kembali nanti, aku tak ingin menjadi seorang yang gagal.
************
Raungan
pesawat mewakili jeritan dalam hatiku, lebih kurang satu jam lagi aku
harus berkata ” selamat tinggal kampung halamanku dan orang-orang yang
kusayangi dan selamat menantikanku wahai kota sejuta harapan.” Harapan
yang bagaimanakah akan menantikanku di sana nantinya?. Kuharap kau
sedikit ramah padaku, si anak kampung yang belum memiliki pengalaman
apa-apa, yang terpaksa harus meninggalkan kampung halaman demi memenuhi
harapanku, juga harapan orang tuaku untuk menggapai cita-citaku.
*****
Kujejakkan
kakiku pertama kali di kota sejuta harapan, terasa asing. Sesaat
kebingungan dan kekhawatiran menghantui, akan bagaimana nantinya aku di
sini, apakah aku sanggup menjalani hari-hariku tanpa orangtuaku?
Berbagai pertanyaan seolah memenuhi otakku, dan semua itu membuatku
takut. Mama, papa, tolong aku…. Anakmu yang tidak pernah jauh dari
kalian, sekarang terdampar di kota asing, sendirian…..! Aku masih
membutuhkan bimbingan kalian agar aku tidak salah langkah. Jika aku
sakit atau sedih kepada siapa kuharus membagi rasa sakit dan semua duka
yang kurasakan? Duh…. Gusti, aku ingin pulang…. aku takut! Pulang…… aku
ingin pulang, mama!
*****
Malam
ini adalah malam pertama aku tidur di tempat asing, masih kurasakan
kamarku di kampung walau harus berbagi tempat tidur dengan adik-adikku
tetap saja aku merasa lebih menyenangkan. Dulu…. Aku sering bertanya
dalam hati, ” kapan aku mempunyai kamar sendiri, sehingga semua
privacyku tidak terganggu?”. Tapi sekarang….. aku menyesali keinginanku
itu, jika dapat memilih tentu akan memilih berbagi kamar dengan adikku
daripada sendiri di sini, terasa asing dan sepi! Semua kenangan di
kampung melintas satu persatu, ah…. aku kangen kalian semua, kampungku,
mama, papa dan adik-adikku!
Air
mata tak henti mengalir membasahi wajahku, ku coba menghalau semua
kesedihan dengan membayangkan masa depanku harus ku mulai dari kota ini,
kota sejuta harapan, ” maka disinilah aku sendiri sekarang menatap cakrawala, dan menitipkan sebuah doa yang penuh harapan untuk hari esok…”.
Ya…. Semoga aku tidak mengecewakan harapan orang tuaku, harapanku dan
harapan orang-orang yang kusayangi. Aku tahu itu tak mudah, tapi
bagaimanapun juga sudah terlanjur kubawa langkah kakiku ke sini, apapun
yang terjadi akan kuhadapi.
*****
Suatu
siang dua bulan kemudian, di sebuah gedung berlantai delapan di
bilangan Jakarta Barat, dengan kaki gemetar kulangkahkan kakiku memasuki
ruangan kantor sambil mendekap map yang telah kusiapkan lengkap dengan
surat lamaran serta CVku. Menunggu panggilan dari dalam sebuah ruangan
yang kurasakan sangat menyiksa, seolah menunggu saat-saat dimana akan
ada seseorang yang akan menjagal leherku…( Seseram itukah….? ) Toh yang
kuhadapi masih sesama manusia, sama-sama makanan pokonya adalah nasi.
Diterima syukur, kalau tidak ……akan ku coba di tempat lain. Tak perlu
rasa nervous ini kupelihara, “ayo…. Semangat dan pupuk rasa percaya
dirimu!” kuhardik diriku.
Akhirnya
semua prosesi yang panjang itu berakhir juga dan aku berhasil menjadi
salah satu karyawan di perusahaan itu. Bergabung dengan sebuah
perusahaan importir, tempat kupenuhi harapanku, dan harapan orang-orang
yang menyayangiku.
Mama,
papa… inilah aku saat ini, anak kampung yang mencoba menggapai harapan.
Doa kalian selalu kuharapkan untuk menjalani hari-hariku selanjutnya,
menjawab semua tantangan yang terbentang di depan mataku dan kuyakin itu
tidaklah mudah. Semoga aku berhasil memenuhi harapan kalian dan
menggapai semua angan-anganku.
Tidak
sedikit masalah dan rintangan yang kuhadapi diawal bergabungnya aku di
perusahaan tempatku bekerja. Memang…. aku mengalami kesulitan dalam
beradaptasi dengan orang-orang baru, aku tak pandai berinteraksi dengan
para senior yang tidak semuanya welcome padaku. Bahkan ada beberapa
senior yang memandang rendah diriku, si anak kampung yang memang tidak
punya keistimewaan apa-apa, tapi aku punya satu tekad untuk bekerja
dengan sebaik yang aku bisa. Aku tak ingin selamanya dianggap sebagai
orang yang tidak punya kemampuan apa-apa. Belajar dan terus belajar
kulakukan tanpa henti, hingga aku dianggap cukup setara dengan yang
lainnya dan tak ada lagi pandangan merendahkan yang ditujukan padaku.
************
Suatu
sore 10 tahun kemudian,….. di suatu ruangan gedung berlantai delapan
aku duduk menghadapi laptop. Lelah sekali rasanya setelah menjalani
aktivitasku seharian. Jam dinding dalam ruanganku menunjukkan jam lima
tepat. Ruangan di depan telah kosong ditinggal pemiliknya, begitulah
kebiasaan di kantorku dan sekarang tinggal aku sendiri dalam ruanganku.
Sudah saatnya aku berkemas untuk pulang, kedua buah hatiku tentu sudah
tak sabar menantikanku di rumah. Sabar ya…….. sayang, sebentar lagi mama
pulang. Kurindu celotehan si kecil yang selalu meyambutku di depan
pintu jika aku pulang, memelukku dan menarik tanganku untuk masuk ke
rumah seolah ingin mengatakan ” nah… mama sudah sampai di rumah, berarti
mama seutuhnya milik kami”. ahhh…..anak-anakku, mama kangen kalian
Sebelum
aku menutup laptopku, sempat kubuka sebuah blog keroyokan favoritku ”
Kompasiana” dimana aku dapat menjalin persahabatan dengan teman-teman
dunia maya terutama warga Desa Rangkat. Sebuah Desa yang unik,
menawarkan keakraban menebarkan persahabatan yang belum pernah kutemui
dalam dunia nyata.
Wowww….
Ada undangan dari mas Hans, Aa kades Desa Rangkat. Beliau mengadakan
“Rangkat Menulis(Ramen)”, walau aku belum pernah menulis cerpen (
biasanya hanya puisi dan catatan harian) kuberanikan diri mencoba untuk
meramaikan acara ini demi dedikasiku terhadap Desa Rangkat yang telah
menerimaku sebagai salah satu warganya. Terima kasih undangannya pak
Kades Desa Rangkat, semoga tulisanku tidak mengecewakan kalian semua.
***********
Di tulis saat antri di sebuah RS di bilangan Jakarta Utara, Tanggal 10 Oktober 2012
0 komentar:
Posting Komentar