Gambar : twincitiesll.com
“Sudah lama?” tanyamu begitu duduk di sampingku. Santai dan tak ada rasa bersalah dengan budaya ngaretmu.
“Hmmm… aku selalu tepat waktu” jawabku ketus. Soalnya aku paling sebal menunggu, dan aku tak akan membiarkan orang lain menungguku.
“Marah nih kayaknya?” ucapmu mencoba mengajuk hatiku. Lagu lama, sebentar lagi pasti sejuta alasan siap kau paparkan padaku. Pikirmu aku percaya?
“Iya… kau tahu aku benci orang yang menjunjung tinggi budaya ngaret” kuumbar kejengkelanku dengan kata-kata ketus. Nah, benar kan? Mulai deh mengarang cerita alasan keterlambatannya, bla…bla…bla… sebodoh amat!
“Ada apa memintaku ke sini, terus harus menunggu pula. Cepetan, waktuku hampir habis. Aku masih banyak urusan!”
“Okeeee…maafkan aku, pertemuan ini mungkin untuk terakhir kalinya. Besok aku berangkat ke Kanada. Maaf, sebelumnya tak pernah kuceritakan padamu. Kemarin kabar ini baru kuterima dari papa dan positif sudah aku harus meninggalkan Jakarta besok”
Entah salah atau tidak pendengaranku, rasanya kutangkap ada getaran dalam suaramu. Jujur saja aku pun tak urung kaget menerima berita ini. Beberapa menit tak ada di antara kita yang mengeluarkan suara. Aku sibuk menenangkan rasa kagetku dan berusaha bersikap seperti biasa, dan kamu? Ahhh…aku tak tahu apa yang sedang kau pikirkan.
“Lamakah?” tanyaku tak sanggup menahan keingintahuanku. Sengaja kukeluarkan pertanyaan pendek agar kau tak mengetahui gejolak hatiku. Aku pasti akan sangat kehilanganmu, tapi aku tak ingin kau mengetahuinya. Aku menyembunyikan perasaan ini sejak beberapa tahun yang lalu. Saat itu aku merasa hatiku nyeri melihat akrabnya engkau dengan Mei, si cantik dan lembut itu. Sejak itu pula kusadari kau telah merampas seluruh hatiku.
“Entahlah, June. Saat ini aku belum dapat memprediksi berapa lama. Heiii…jangan katakan kalau kau akan merasa kehilangan aku!” terdengar suara tawamu yang sumbang. Tak seperti biasanya, tawamu lepas dan panjang. Aku sibuk memilin ujung bajuku, kebiasaan jika aku sedang gelisah dan tak tahu harus berbuat apa.
“Gus, Mei sudah tahu rencana kepergianmu?” tanyaku untuk mengalihkan pertanyaanmu barusan.
“Belum, aku ingin mengabarimu lebih dulu. Eh, maksudku …kamu kan lebih gampang kutemui baru selanjutnya Mei. Nanti malam rencananya aku beritahu dia”
Ohh… Rupanya kau sudah menyiapkan acara perpisahan dengan Mei. Rasa asing itu kembali muncul, perpaduan rasa sedih dan putus asa. Rupanya benarlah dugaanku, kau lebih memperhatikan Mei dari aku. Untuknya, kau siapkan waktu khusus sedang aku hanya sambil lalu saja.
Aku mengerti soal hati dan rasa tidak dapat dipaksakan, dan aku mendapat bagian yang sakit dari lakon yang kita jalani. Kau dan Mei, memang pantas disandingkan. Yang satu rupawan dan satunya lagi jelita. Aku hanyalah perempuan setengah liar yang sering berbuat seenaknya, tapi perempuan liar sekalipun punya hati dan perasaan. Punya keinginan untuk dicintai dan diperhatikan.
“June, temani aku ke Mall mau? Aku ingin membeli kenang-kenangan untuk Mei. Bingung aku kalau harus memilih sesuatu untuk perempuan” pintamu padaku tanpa mempertimbangkan perasaanku. Lagian mana tahu kamu bagaimana rasaku terhadapmu, kan? Aku saja yang terlalu sentimentil, padahal hatiku menjerit mengapa tak terbersit dalam pikiranmu untuk meninggalkan kenangan untukku? Mataku terasa panas, dadaku sesak menahan tangis. Heii…sejak kapan aku jadi cengeng begini? ‘Sungguh aku mengharapkan kenangan darimu, apa pun itu’
“Ayolah” jawabku dan segera berdiri seraya mengibaskan bagian pantat celana jeansku yang kuyakin tidak kotor. Gerakan memanipulasi untuk menetralkan batinku yang bergejolak. Juga menyembunyikan titik kristal yang hampir jatuh dari kornea mataku. Dengan sedikit gerakan menunduk, kuhapus kasar dengan punggung tanganku, nah sekarang aku siap bersikap tegar.
Tapi…hei, ternyata tanpa kusadari kau sedang menatap ke arahku. Sejak kapan aku tak tahu, jangan-jangan kau mengetahui tadi aku menghapus air mataku. Sejenak pandangan kita bertemu, hanya sesaat. Selanjutnya kau tarik tanganku menuju mobilmu.
Penyiksaan buatku dimulai dari kaki ini menapak lantai mengkilap sebuah Mall, kusejejerkan langkahmu yang terkesan buru-buru demi seorang Mei. Mei, kau membuatku cemburu. Seorang Agustinus begitu memperhatikanmu, sedang aku…aku bagai keledai dungu yang tak bisa menghidar dari permintaanmu.
“June, pilihlah barang apa sekiranya menurutmu bagus untuk dijadikan kenang-kenangan. Pilih berdasarkan seleramu, apapun pilihanmu maka itu jugalah pilihanku” ucapmu tak sabaran. Kutatap etalase dari sebuah conter yang memajang pernak-pernik kerajinan tangan dari berbagai daerah. Mataku tertuju pada sebuah gelang cantik berulir hitam putih, entah itu kerajinan dari daerah mana. Yang jelas benda ini seolah menghipnotisku untuk kujadikan referensi agar kau berikan kepada Mei. Kubayangkan pergelangan tangannya yang putih mulus pasti serasi jika memakai gelang itu.
Terus kupilih sehelai scarf bermotif cantik, Mei sering memakai scarf jika pergi kerja. Wanita itu selalu memperhatikan penampilan hingga kesan elegant menempel padanya. ” ini semua pilihanku, jika kau kurang setuju kita akan cari yang lain” ujarku. Kulihat kau menggeleng kepala dan membawa pilihanku itu menuju kasir.
“Selesai sudah, pulang yuk” ajakmu kuikuti dengan anggukan kepala. Selama dalam perjalanan pulang kau hanya membisu, tak banyak kata yang keluar dari bibirmu. Beberapa kali helaan napas sempat terdengar olehku, mungkin saja kau merasa berat meninggalkan Mei. Seperti engkau, aku pun beberapa kali melakukan hal yang sama. Hanya saja yang kulakukan untuk mengurangi rasa sesak yang mengganjal dalam dada.
“Besok, maukah kau ikut mengantar keberangkatanku?” Pintamu penuh harap. Rupanya belum selesai penyiksaan buatku. Pasti Mei ada di sana, apa harus kusaksikan ritual perpisahanmu dengan Mei? Menyaksikan pelukan perpisahanmu dengannya, berarti sengaja mengiris dagingku sendiri. Demi sebuah kelayakan, aku mengangguk, kusanggupi permintaanmu.
*****
Jemputan supir keluargamu tepat waktu, jam dinding di ruang tamu menunujukan pukul 9:00 sesuai dengan permintaanmu kemarin aku harus sudah siap jam segitu. Kutarik tasku, berlari menuju mobil jemputanmu, sebelumnya kuberteriak pamit pada ibu.
“Mas Agus meminta Non ke rumahnya dahulu, kemudian baru bareng menuju Bandara” jelas pak Amir, supirmu. Sambil memencet ponselku, kuhadiahkan sebuah senyuman terima kasih kepada supir baik hati itu. Sebuah sms kulayangkan padamu yang berbunyi ” kok aku harus ke rumahmu dahulu, sih” tak lama kemudian balasanmu kuterima ‘Ada sesuatu yang ingin kutunjukan padamu’.
Sekarang aku berada di ruang tamu rumahmu, kau memberikan isyarat agar aku mengikutimu. Tibalah aku di sebuah kamar yang ternyata kamarmu. Pintu kamar kau buka lebar-lebar hingga aku dapat melihat ada fotoku, fotomu dan foto Mei terbingkai bagus bertengger sejajar menghiasi dinding kamarmu.
“Lihatlah, ada foto kita bertiga di dalam kamarku. Kuingin persahabatan kita tetap utuh sampai akhir hayat kita. Ada satu rahasia yang ingin kusampaikan padamu June, sebulan yang lalu Mei mengutarakan isi hatinya padaku. Kuhargai kejujurannya, tapi aku tak dapat mengimbangi perasaannya. Karena jauh di lubuk hatiku telah ada seseorang yang merampas cintaku. Aku mencintainya, tapi aku sama sekali tak mengetahui bagaimana perasaannya terhadapku. Beberapa kali aku mengajuk hatinya, tak kutemui tanda-tanda kalau aku tak bertepuk sebelah tangan. Inilah yang menjadi alasanku untuk menuruti permintaan orang tuaku melanjutkan belajar ke Vancouver”
Penjelasanmu makin membuatku nelangsa, berarti ada wanita lain yang menarik perhatianmu dan orang itu bukan Mei. Dari laci lemarimu kau keluarkan sebuah bungkusan yang dibungkus rapi dengan kertas berwarna pink. “Simpanlah ini sebagai kenang-kenangan dariku. Bukalah setelah sampai di rumah” ternyata aku salah sangka, untukku juga ada cindera mata darimu. Kuucapkan terima kasih dengan suara lirih.
Lambaian tanganku mengiringi kepergianmu, hanya ada aku…tanpa Mei! Kulihat kau menyeret kopermu menuju ruangan check-in. Bersamaan dengan lenyapnya bayanganmu, runtuh pula pertahananku. Air mata tak sanggup lagi kutahan, habis ini entah berapa lama lagi kita baru akan bertemu. “Gus, kau telah membawa pergi seluruh hatiku,sayangnya Kau Tak Mengerti”
*****
Sesampai di rumah kubuka bungkusan darimu, ternyata pilihanku kemarin kau hadiahkan untukku. Ada sebuah surat tanpa amplop kau tinggalkan untukku. Tak sabaran kubuka, dan mataku tak melewatkan satu huruf pun barisan aksara yang kau tulis di atasnya.
Dear June,
Kuingin kau tahu, aku mencintaimu. Walau kutahu sepertinya aku hanyalah si Pungguk yang merindukan bulan. Kemarin aku sengaja mengajuk hatimu untuk memancing reaksimu, tapi aku tetap tak menemukan jawabannya. Kuharap pernyataanku ini tak memutuskan persahabatan kita. Sesampainya aku di Vancouver, aku akan menelponmu. Jaga dirimu baik-baik.
Agustinus
*****
0 komentar:
Posting Komentar