Gambar : facebook.com
“Klara” nama itu yang keluar dari bibir mungilnya saat aku menyodorkan tanganku untuk berkenalan dengannya. Nama yang indah, seindah penampakan luar orangnya. Tapi menurut penilaianku, perempuan muda ini menanggung beban yang lumayan berat. Kusebut perempuan muda, karena perkiraanku usianya berkisar antara 22 -24 tahun. Dari sejam yang lalu aku telah memperhatikan dirinya secara diam-diam. Wajahnya yang kaku nampaknya sangat mahal menyungging sebuah senyum. Begitupun ketika kuulurkan tangan tuk menawarkan perkenalan dengannya. Aku tahu, dengan terpaksa ia menyambut uluran tanganku.
Sempat kulihat tatapannya kosong memandang ke depan, padahal pemandangan yang kami lewati sejak tadi indah sekali. Petak-petak sawah dengan padi menguning, kaki gunung yang yang dipenuhi pohon menghijau menurutku sangat indah, rupanya tak sanggup mengusik kegundahannya. Beberapa kali aku bertanya iseng, sekedar menunujukan padanya bahwa ada manusia lain di sampingnya, toh tak membuatnya mengalihkan keasyikannya melamun. Tak mendapat tanggapan berarti, membuatku asyik menebak-nebak apa sih yang ada dalam pikiran perempuan muda ini? Apakah orang tuanya sakit di kampung atau kekasihnya menikah dengan gadis lain ?
Keisenganku makin menjadi-jadi ketika kupergoki beberapa kali jemari lentiknya menghapus butiran airmata yang berusaha dia sembunyikan dari penglihatan orang lain, mungkin terutama dari penglihatanku. Sebab kuyakin dia mengetahui kalau aku sejak tadi memperhatikannya. Dari cara dudukku yang sedikit tak mau diam, demi mencari perhatiannya dirinya walau tak berhasil. Tak kupedulikan sangkaan dia nanti kalau aku tak tahu diri, entah mengapa rasa ingin tahuku begitu besar dan menuntutku untuk mencari tahu apa penyebab kegundahan gadis ini.
“Neng, sudah berapa lama tidak pulang kampung?” Tanyaku sebagai pembuka kata. Bukannya aku tak tahu dia tak suka dengan pertanyaanku, kukebalkan saja rasa tak enakku demi tuntutan rasa keingintahuanku. Kedua belah alisnya terlihat naik sedikit, matanya menyipit sebagai tanda terganggu dengan pertanyaanku. Ahh… Kelakuan gadis di depanku ini mengingatkanku akan seseorang. Seseorang yang sangat berarti dalam hidupku, sampai saat ini aku masih tak sanggup melenyapkan bayangannya dalam hidupku. Jika tak suka dengan sikapku atau aku membuatnya marah maka reaksinya sama dengan gadis di sampingku ini.
“Setahun” jawabnya singkat tanpa menoleh ke arahku. Tatapannya masih saja lurus ke depan, kuyakin jika ada sebongkah batu gunung yang menggelinding dari arah samping pasti dia tak akan menoleh. Sudah tanggung pikirku, biarlah kucoba mengajaknya ngobrol dengan resiko dijudesin. Tak apa, demi memuaskan rasa penasaranku padanya, dianggap sebagai seseorang yang nyinyirpun kuterima.
“Tujuannya ke mana,Neng?” Lama kutunggu dia tak menjawab pertanyaanku. Rupanya dia pura-pura tak mendengar sebagai upaya agar aku tak banyak bertanya lagi. Hehehehe… Piikiran nakalku mulai terpancing. Volume suaraku kutinggikan lagi, kalau tadi di angka lima sekarang kuarahkan ke angka delapan. Kuulangi pertanyaan tadi, dan berharap dia akan kewalahan lalu menjawab pertanyaanku.
Dia menyebutkan nama daerahnya, dan yoooppp…. Persis dengan tujuanku. Sebuah senyum kusembunyikan dalam hati, cukup aku yang tahu. Misiku menempuh perjalanan dengan menggunakan jasa kereta api adalah ingin bernostalgia. Dengan mengenakan pakaian lusuh dan membawa tas kumal kecil berisi beberapa potong pakaianku aku berangkat dari rumah. Kepada orang rumah kukatakan aku ingin memenuhi undangan teman sekampungku . Temanku ini adalah teman istimewaku dulunya, seorang perempuan yang telah merebut seluruh hatiku hingga tak bersisa untuk orang lain. Aku percaya jodoh ada di tangan Tuhan, buktinya aku…semua orang di kampung telah mengetahui hubunganku dengan Nuraida, ke manapun Aida pergi selalu ada aku di sampingnya. Kami bagaikan lemari gandeng, di mana ada aku, di situ ada Nuraida.
Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Perumpamaan itu cocok sekali untuk menggambarkan kondisiku. Dalam perjalananku ke kota untuk mengadu nasib, bus yang kutumpangi mengalami kecelakaan. Keadaaku sangat buruk, aku mengalami cacat dan lama tak dapat berjalan dengan normal. Ya… Kecelakaan itu bukan hanya merenggut kelincahan kakiku, yang lebih menyakitkan aku harus merelakan Nuraida ditarik dari pangkuanku. Orang tua mana yang merelakan anaknya menikah dengan laki-laki cacat sepertiku?
Pas hari pernikahan wanita terkasihku, aku melarikan diri dari kampung dan pergi sejauh-jauhnya. Nasib baik membawaku pada seorang penolong yang merasa berterima kasih padaku. Padahal apa yang kulakukan padanya hanyalah perbuatan selayaknya sebagai sesama yang saling tolong menolong. Aku dianggap telah menyelamatkan nyawanya, hanya karena aku membohongi gerombolan penjahat yang mengejarnya. Nasib baik berpihak padaku, aku berhasil melakukan operasi kaki dan berkat kaki palsu aku dapat berjalan seperti orang normal . Semuanya atas biaya penolongku, termasuk semua yang kuterima sampai hari ini.
Ahhh… Apa kabar Nuraidaku? Gadis ini membuatku mengingatmu sayang… Pantas saja aku merasa tertarik dengan gadis cengeng ini, setelah kuteliti dengan seksama ternyata garis wajahnya ada kemiripannya denganmu. Aku seolah menemukan Nuraidaku kembali dalam sosok gadis di sampingku ini.
“Neng, percayakah kau pada takdir illahi?” Tanyaku. Kali ini dia memalingkan wajahnya ke arahku. Kulihat tatapan heran bercampur kemarahan di sana. Tidak menjawab pertanyaanku, tapi tatapannya menuntut penjelasan lebih lanjut. Okeeee… Dia mulai terpancing. “Apapun masalahmu, biarkanlah takdir mengalir dan memutuskan segalanya. Apa yang terjadi, anggaplah memang itu yang harus kau jalani. Dengan demikian kau akan merasa bahagia” ujarku sok bijak.
“Terima kasih. Aku memang berada di persimpangan jalan. Antara keinginanku pribadi dan keinginan keluargaku” ucapnya sendu.
“Ikuti hati nuranimu, pikirkan baik buruknya untuk semua pihak. Satu yang ingin kukatakan padamu, setiap orang tua, pasti menginignkan anak-anaknya bahagia. Kompromilah dengan keadaan, hidup bukan hanya mengikuti keinginan kita sendiri. Berdoalah kepadaNya, mohon diberikan jalan terbaik. Nah…sebentar lagi saatnya aku turun. Terima kasih atas perkenalan kita” ucapku kemudian.
*****
Sore ini aku sudah berada rumah wanita terkasihku, aku hadir sendiri. Banyaknya tamu yang hadir seolah mengaburkan kehadiranku di mata Aida. Dalam pandanganku dia masih tetap cantik, Nuraidaku sekarang hanya bertambah umurnya, namun keelokan dan keayuannya masih melekat padanya. Dan hati ini… Walahhhh, masih berdentum keras dengan kecepatan lima kali di atas normal. Aku diundang olehnya melalui salah satu sahabat kami yang kebetulan bertemu denganku beberapa bulan yang lalu.
Tiba-tiba aku melihat Seorang gadis berjalan menghampiri Aidaku, kemudian Aidaku merangkulnya dengan mesra. Heiii …ada hubungan apa di antara mereka? Dan blepppp…. Mata itu terarah padaku, kulihat Aidaku menarik tangan Klara menuju ke arahku. Setiap ayunan langkah kedua wanita itu tak luput dari pandanganku, geraknya seolah berirama dan senyum itu….membuatku setengah mati menahan agar jantungku tak bergeser dari tempatnya.
“Heiii.. Mas Imam, tak sangka kau sudi menghadiri undanganku. Kenalkan ini Klara…cucuku”
“Kakek…ketemu lagi. Terima kasih atas nasehatnya waktu dalam perjalanan, maafkan Klara telah bersikap tak sopan” kusambut kata-kata Klara dengan kedipan mata. Aidaku tentu saja heran melihat keakraban antara aku dan Klara.
Nuraidaku, ternyata teman seperjalanku itu adalah cucumu…..dan kini generasi kita harus segera berlalu, biarlah kenangan tentang kita cukup hanya untuk kita sebab kenangan tak mungkin hilang. Aku bahagia, di sisa umurku masih diberikan kesempatan olehNya untuk dapat bertemu lagi denganmu.
*****
0 komentar:
Posting Komentar