“Ketika salah satu sisi kehidupan dihadapkan pada pilihan…Manakala rasa cinta tumbuh di tengah persahabatan yang terjalin erat sejak masa kanak-kanak… Kumencintaimu… sementara ia pun mencintaiku…Jika kuserahkan pada sang waktu demi mendapatkan jawaban atas kegundahan hatiku…Sang waktu pasti akan lebih dulu mengurai ragaku sebelum kudapatkan jawaban sulit atas pilihan ini…Ibarat pertempuran yang dahsyat di medan perang… demikianlah hari-hari kulalui dalam peperangan dengan egoku sendiri… Meski terurai dan terbentuk kembali dalam beberapa kehidupan pun… jika tetap kembali ke titik pilihan yang sama… Maka akan kuakhiri semua ini… dengan sebuah ketetapan hati.Ketetapan hati yang berbalut perisai untuk membentengi ego… mengasahnya hingga bercahaya… dan tetap bersinar dalam hangatnya persahabatan…Bukan mematikan rasa cinta yang ada di antara kita… melainkan menjadikannya tetap hidup… abadi dalam persahabatan di antara ia, kau dan juga diriku.Inilah diary yang kutuliskan hanya pada lembar kiri dan kanan di lembar bagian tengah… kutuliskan saat ini… dan kuberharap bahwa akulah yang akan kembali ke langit lebih dulu daripada kalian… agar kalian dapat membacanya… kisah tentang peperangan hatiku.Aku… Bintang.”***
Di sebuah senja…
Wulan
menyisir rambut panjangnya yang begitu hitam dengan jemari lentiknya
sambil menatap Mentari penuh harap, wajahnya yang mulus menengadah
menunggu jawaban Mentari atas tanya yang dilepasnya tadi. Baginya…
Mentari selalu mempunyai jawaban apapun pertanyaan, Mentari yang selalu
setia memberikan semangat padanya, yang selalu mengerti apa maunya, yang
bagaikan wakil dari setiap inginnya. Mentari masih mematung menatap
ombak yang berkejaran menabrak karang… ia membiarkan rambut ikal
panjangnya yang agak pirang tertiup angin…
“Jadi aku harus bagaimana, Tari? Ayo dong bantu aku bagaimana caranya mengisyarakan pada Bintang kalau aku menyukainya”. Wulan merengek tak sabar untuk mendengar jawaban dari Mentari.
Mentari
mencoba mengukir senyum walau sulit, rasa getir dipendam di sudut
hatinya. Alhasil senyumnya mirip sebuah cengiran yang tak elok di
pandang. Untunglah Wulan tak memperhatikan mimik wajah sahabatnya itu,
dalam hatinya yang ada hanya jawaban Mentari. Anak manja itu tidak
merasa perubahan wajah sahabatnya yang kontras kelabu.
***
Mentari,
Wulan dan Bintang adalah tiga sahabat sejak kecil. Mereka dibesarkan
dalam lingkungan yang sama, ketiganya bersekolah dari Taman Kanak-kanak
sampai kuliah bersama-sama dalam satu sekolah. Yang membedakan ketiganya
yaitu Mentari berambut Ikal dan selalu tegar dalam balutan
kecantikannya, Wulan berambut lurus berawajah manis namun manja,
sedangkan Bintang adalah sosok yang tampan, kalem namun berwibawa.
Ajaib, dalam persahabatan mereka tak pernah ada pertengkaran yang
berarti. Boleh dibilang, mereka layaknya bersaudara kandung. Saling
menghibur kala salah satunya sedih, bahkan terkadang saling mengejek
dalam canda tawa.
***
“Aku juga bingung, Lan. Bagaimana ya caranya, ilmu ini belum berhasil kupelajari”. Jawab Mentari mencoba berkelakar.
“Apakah
kau tak pernah mencoba mengajuk hati Bintang? Buatlah semacam
pernyataan yang terkesan bercanda dan Pelajari sikapnya
terhadapmu.Kurasa boleh kau coba cara ini”. Lanjutnya lagi kepada Wulan.
Namun…
Jauh
di relung hatinya yang terdalam, Mentari menahan rasa nyeri yang hanya
diketahui olehnya. Bagaimana tidak, cara ini seharusnya ia yang harus
menjalankannya, tapi terpaksa diberikan kepada Wulan. Bagaimana bisa ia
menyaksikan wajah sedih Wulan yang setiap saat menari di pelupuk
matanya? Biarlah Bintang bahagia dengan Wulan, ia akan senantiasa
memberikan cahayanya pada Wulan untuk selalu bersama Bintang.
“Aku
janji akan membantumu menyampaikan perasaanmu pada Bintang. Jangan
khawatir aku akan melakukannya dengan halus dan tak akan menjatuhkan
harga dirimu. Aku ikut bahagia jika Kau dan Bintang bersatu. Ingatlah
aku bukan sekedar sahabat buat kalian, tapi lebih dari itu! Aku saudara
bagimu, juga Bintang”. Imbuhnya tegar.
***
Janji
Mentari pada Wulan biarpun berat tetaplah merupakan hutang yang harus
ditepati. Begitu ada kesempatan yang tepat, mulailah dia mengajuk hati
Bintang dan menyampaikan rasa khusus Wulan terhadap Bintang. Walau
merelakan namun rasa ingin tahu Mentari membuatnya menunggu jawaban
Bintang dengan perasaan tak karuan.
“Tari,
jauh sebelum kau mengutarakan ini padaku sebenarnya aku sudah
mengetahui rasa khusus Wulan terhadapku. Maafkan aku, aku pun menyimpan
rasa khusus itu untuk seseorang, tapi bukan untuk Wulan. Rasa itu telah
kuberikan kepada seseorang yang jika kupilih akan menghancurkan
persahabatan kita. Kau mengerti maksudku, Tari?” Ucap Bintang sendu.
Mendengar
jawaban yang merupakan isi hati Bintang membuat Mentari sebenarnya
ingin menangis dalam pelukan Bintang… satu hal yang akhirnya hanya bisa
ia tumpahkan di atas pembaringannya setiap kali malam menghakhiri senja
kelabunya.
***
Nasib
telah mempertemukan mereka bertiga dalam cinta yang pelik. Bintang yang
bijak tidak menentukan salah satu dari sahabatnya untuk dijadikan
pasangan hidup, walau mencintai Mentari begitupun sebaliknya. Mentari
yang merelakan bintang untuk Wulan dan Wulan yang setia tetap mencintai
Bintang. Mereka lebih memilih persahabatan dari pada ego pribadi. Saling
memendam rasa.
***
Persahabatan
sejati tidak memikirkan ego sendiri, rela berkorban demi sang sahabat
walau harus mengorbankan diri sendiri. Sementara cinta sejati, adalah
kebahagiaan menyaksikan orang yang dicintai berbahagia.
Ibarat
Matahari, Bulan dan Bintang, sang Matahari dengan ikhlasnya membagi
sinarnya kepada Bulan di malam hari, hingga Bulanpun dapat memancarkan
sinarnya menemani kerlap-kerlip sang Bintang kala malam.
Mentari, Wulan dan Bintang mewakili Matahari, Rembulan dan Bintang.
Janji
Mentari Pada Wulan dan Bintang. Janji yang membuat mereka selalu
bersinar dalam terangnya persahabatan. Terabadikan hingga sang waktu dan
Sang Terang mengurai mereka kembali menjadi cahaya-cahaya di luasnya
semesta.
~000OOO000~
Sebuah Fiksi tentang Cinta di antara Persahabatan
Ilustrasi “Love_Light_Graffiti” dari loveletterdaily.com
~Kim Foeng dan Hsu~
0 komentar:
Posting Komentar