Senin, 01 Juli 2013

Pamit Terakhirmu



Illustrasi : pixabay.com
“Papa pamit, ma.  Papa pergi dulu  ya nak. Muahhh….” pamitmu  tadi pagi kepadaku dan anak-anak kita. Seperti biasanya, setelah kau cium keningku, engkau  pun pergi   mencari nafkah untuk kami, aku dan anak-anakmu. Sementara aku, sibuk mengurus anak-anak kita yang sebentar lagi akan ke sekolah. Begitupun dengan kedua jagoan kita, kakak beradik itu masih saja ribut, ada saja yang menjadi alasan keributan mereka. Biasanya aku akan mengeluarkan suara yang  sedikit keras untuk menghentikan keributan buah hati kita. Aku tahu, kau tak begitu suka dengan caraku mendidik anak-anak kita, “terlalu keras” katamu dan biasa saja menurutku.

Aku sedang sibuk menyiapkan bekal si kakak untuk dibawa ke sekolah, ketika tiba-tiba kurasakan pelukanmu. Rupanya ada sesuatu yang tertinggal, hingga engkau kembali. Benar saja, kulihat kau masuk ke kamar kita, sebentar kemudian keluar dengan sesuatu di genggaman tanganmu. Sebuah kotak mungil beludru dengan warna merah  kau tunjukan padaku. Mataku yang setengah mengantuk akibat kurang tidur semalam agak terbuka lebih lebar. Kemudian, dahiku berkerut menaksir apa isi dalam kotak mungil itu?

“Mama, ini untukmu. Bertahun-tahun papa sisihkan bagian dari pendapatan papa untuk membeli ini. Sejak kita menikah, papa ingin sekali membelikan benda ini untuk mama. Dan kemarin setelah terkumpul semua uang papa, segera papa belikan untuk mama. Entah mengapa, papa merasa takut tak sempat memberikannya untukmu. Terimalah dan bukalah, semoga mama suka” pintamu dengan senyum yang kurasakan seperti senyum kemenangan.

Kuterima benda itu dari tanganmu seraya mengucapkan terima kasih. Lalu kubuka dengan tangan gemetar, sebab kutahu suamiku telah berjuang untuk mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk menyenangkan aku. Perlahan kubuka kotak beludru itu dan sebuah cincin bermata bertahta di dalamnya. Takjub dan kaget membuatku bisu sejenak. Aku tak pernah meminta benda mahal ini kepada suamiku, karena kutahu sampai di mana batas kemampuannya. Bagi kami, kebutuhan sandang, pangan dan papan yang layak, serta sekolah anak-anak kami tidak terlantar saja sudah puji syukur.

“Papa, apakah benda ini perlu papa belikan untuk mama?” tanyaku dengan setengah bodoh. Sebagai jawabannya tanganku diraih oleh suamiku, kemudian diambilnya benda berkilau itu, lalu memasangnya di jemari manisku yang agak kasar.

“Mama suka?” tanyanya kemudian

“Suka, pa!” jawabku tersenyum miris. Kubayangkan bagaimana suamiku mengirit uang makannya, menyisihkannya sedikit demi sedikit, dari hari ke hari hanya untuk menyenangkan aku. Jujur saja, jika boleh memilih aku akan memilih tak pernah menerima hadiah ini dari pada suamiku menderita. Apa hendak dikata, bagaimana pun aku harus menghormati, lebih tepatnya menghargai jerih payahnya.

Kuusahakan wajah segembira mungkin, sambil mengatakan “terima kasih papa, mama sangat menyukai hadiah ini. telah lama mama memimpikan suatu saat jari manis mama tidak polos lagi, tapi ada sesuatu yang membelitnya di sana. Hari ini, papa telah memberikan sesuatu yang mama idam-idamkan” seperti inilah kata-kataku untuk memberikan penghargaan atas semua pengorbanan yang telah dilakukan  suamiku. Lantas aku memeluknya dan memberikan sebuah ciuman tulus di pipinya. Rasa haru mendominasi perasaanku, air mataku pun menetes tanpa dapat kucegah, air mata haru!

Kini, jemariku tak lagi polos. Adakah rasa bahagia yang lain dari biasanya? Rasanya tidak! Tanpa cincin ini pun aku bahagia sebagai seorang istri dari suami yang bertanggung jawab. Yang telah berusaha memenuhi kewajibannya walau terkadang  masih kurang sana-sini. Tapi aku tahu, suamiku telah berusaha semaksimal yang ia bisa, tugaskulah yang mengendalikan semua yang telah ia percayakan padaku. Kalau sampai kurang, berarti aku yang tak pandai berhemat.

Kutatap wajahmu yang sumringah, seolah kau telah memenangkan suatu pertarungan yang sangat sulit. Senyumku pun mengimbangi senyummu. Kau pamit lagi padaku, kemudian melangkah pergi bak pahlawan yang baru saja memenangkan peperangan. Kutatap punggungmu  yang kokoh, mengucapkan doa agar kau diberikan perlindungan olehNya, di manapun engkau berada. Doa tulus seorang istri kepada suami yang dicintainya.

Kujalani hari ini seperti biasanya, rutinitas seorang ibu rumah tangga. Mulai dari mengantar anak sekolah, memasak, mencuci dan menyapu. Terakhir menjemput anak-anak kita, tak terasa sore pun menjelang. Saban hari, bagitu-begitu saja yang kukerjakan. Bosan? yaaaa…. terkadang kurasakan, tapi aku tak pernah bosan menunggumu pulang.

Seperti sore ini, setelah rapi aku duduk di beranda bersama dua jagoan kita menunggumu pulang. Biasanya jam lima sore kau pasti sudah sampai rumah. Kutengok jam dinding di ruangan dalam, telah berlalu tiga puluh menit. Ke manakah engkau pergi? Apakah ada urusan mendadak dari bos-mu yang harus kau selesaikan secepatnya? Ahhh…. perasaan tak enak mulai menggrogoti hatiku, tapi kuyakin kau tak akan bertingkah macam-macam di luar sana.

Satu jam kemudian, sebuah mobil masuk ke pekarangan rumah kita. Kupikir mobil nyasar yang tak tahu jalan, maka aku keluar dengan maksud menolong orang itu menunjukan jalan yang mereka cari. 

Memang bukan sekali ini saja mobil nyasar ke rumah kita. Biasanya engkau yang keluar, tapi kali ini karena kau belum pulang terpaksa aku menggantikan tugasmu.
Kulihat dua orang yang kukenal sebagai teman sekerjamu turun dari mobil. Menemuiku dan mengatakan sesuatu yang tak pernah kubayangkan sedikitpun. Aku tak tahu lagi selanjutnya apa yang terjadi, semuanya gelap dan aku tersungkur. Yang sempat kudengar hanya teriakan kedua anak kita yang memanggilku.

Kini, kau ada di hadapanku. Terbujur kaku tanpa bicara. Diam, membisu walau habis sudah suaraku memngajakmu bicara. Tidurmu begitu pulas, hingga teriakan histerisku dan anak-anak tak mampu membangunkanmu. Tanah longsor di pertambangan di mana kau bekerja telah merenggut nyawamu dengan paksa. Mengambil engkau dari sisiku dan dua anakmu.

“Pa, inikah artinya cincin yang kau hadiahkan padaku pagi tadi? Aku tak mau benda ini, papa!  Aku ingin engkau kembali, bukan menggantikannya dengan benda ini!!!  Pa, ternyata ini firasatmu mengatakan takut tak sempat memberikannya padaku, apakah kau sudah merasakan akan terjadi sesuatu denganmu? Mengapa tak kau katakan padaku agar aku dapat memanfaatkan waktu sebaik-baiknya bersamamu?” batinku pilu.

Kini, katakan padaku, bagaimana aku harus melanjutkan hidupku dan anak-anak kita tanpamu? Katakan padaku!!!
*****
Cerpen ini kupersembahkan untuk seseorang yang saat ini sedang mengalami kehilangan seseorang yang begitu diccintainya. Semoga engkau tabah menghadapi cobaan dariNya. Amin.

0 komentar:

Posting Komentar