Gambar: forumkompas.com
Perempuan itu menyeka peluh yang membasahi kening dan sebagian lehernya, seember penuh baju kotor menunggu remasan jemarinya. Di sampingnya terletak papan gilasan kayu yang sudah rompal sana-sini. Kedua tangan bergantian naik turun memompa air yang baru terisi setengah . Napasnya agak memburu, mungkin kelelahan. Sandal jepit hitam menempel pada kedua kakinya yang bertumit kasar dan pecah-pecah.
Wanita itu bernama Suminah, berumur lebih kurang 35 tahun. Perutnya membusung dengan kondisi hamil 7 bulan. Kehamilan kali ini adalah anak yang ketiga. Yang sulung laki-laki berumur 6 tahun, adiknya perempuan dengan selisih 3 tahun. Sebetulnya kehamilan kali ini di luar rencananya, KBnya gagal. Entah mengapa ini dapat terjadi, padahal dia merasa sudah telaten menelan butir-butir pil itu setiap malamnya. Sepertinya Tuhan memang menghendaki ia memiliki satu anak lagi. Bukannya tak mengerti dengan kondisi ekonomi kelurganya, dia sadari itu! Tapi Janin di dalam rahimnya itu sudah hidup, dia tak ingin menjadi pembunuh anaknya sendiri, nggak tega!
Akhir-akhir ini cuciannya bertambah banyak, kemeja dan celana panjang suaminya yang biasa hanya satu stel menjadi dua stel. Stelan baju kerja dan satu lagi stelan untuk keluar malam setelah pulang kerja. Tak ada keluhan yang keluar dari bibir perempuan itu, baginya itu kewajibannya. Penat di punggung dan pinggang jangan ditanya lagi. Untuk bangun saja rasanya dia memerlukan sesuatu sebagai pegangan, tak jarang matanya berkunang-kunang seolah beribu bintang mengitari kepalanya.
Belum lagi mengurusi dua anaknya yang masih butuh perhatian, terutama Mira putrinya. Anto sih sudah lumayan mandiri, hanya perlu pengawasan saja. Pagi jam 4 Minah harus bangun, memasak untuk sarapan anak-anak dan suaminya. Seperti pagi ini belum sedetik pun sejak jam empat subuh tadi ia sempatkan duduk. Suaminya berulang kali memintanya menggosok ulang kemeja yang katanya kurang licinlah, celana panjang yang berlipat gandalah, padahal kemeja itu menurutnya sudah sangat licin. Kalau gonta-ganti berkali-kali ya akibatnya lecek lagi.
Ada rasa marah dan dongkol yang ditahannya dalam hatinya, tapi di luar tak seorang pun mengetahui jeritan hatinya. Suami yang seharusnya membantunya ini malah menambah bebannya dengan segala tetek bengek yang seharusnya tak perlu. Setiap malam keluar rumah dengan tampilan lebih keren dari biasanya, wangi parfum menebar dari bajunya, kemeja dan celana rapi dan licin. tak jarang siulan kecil terdengar dari bibirnya.
Kalau mau dikatakan mencari tambahan penghasilan, kok rasanya jatah belanja beberapa bulan terakhir ini malah berkurang. Walaupun heran, berat sekali mulut Suminah untuk menanyakan kejanggalan itu kepada Wito, suaminya. Pemahaman Suminah di atas rata-rata perempuan biasa. “Ohhh…. jatahku berkurang karena Mas Wito terakhir ini banyak membelanjakan uangnya untuk beberapa helai kemeja, celana panjang dan parfum. mungkin bulan depan akan Kembali normal” batinnya.
Tapi bulan selanjutnya dia terpaksa kembali dipaksa untuk memahami ketika suaminya membeli sepatu baru, arloji baru yang sebenarnya masih layak pakai. Belum lagi sebulan yang lalu, ketika dia mencuci celana panjang suaminya ada potongan karcis bioskop untuk dua orang di saku suaminya. Pemahamannya kembali beraksi, “Ah… suamiku nonton berdua dengan teman sekantornya, Iwan. Mungkin bosan melihat suasana di rumah, biarlah sekali-sekali ia menghibur diri setelah kerja keras setiap hari” . Bulan depan, pasti Mas Wito akan meyerahkan gajinya seperti biasanya kepadaku. Nggak apa, kutunda dulu ke bidan untuk memeriksa kandunganku ini, uang sekolah Anto lebih penting dan mendesak” putusnya.
Bulan berikutnya, kembali Suminah harus kecewa ketika suaminya malah semakin memperkecil jatah bulannya. Apa daya, diam membisu sudah menjadi tradisinya. Tak akan meminta, hanya menerima tanpa hak bertanya. Kali ini sungguh keterlaluan, yang diterima Suminah hanya setengah dari pemberian normal suaminya. Sebagai gantinya Handphone baru berlabel Blackberry tergeletak di meja kamar tidur di samping suaminya. Suminah hanya dapat mengelus dada, dengan apa ia harus menambal kekurangan anggaran rumah tangganya. Jangankan ke Bidan, untuk memberikan makanan yang layak untuk kedua anaknya pun hampir ia tak mampu.
Wajahnya Suminah dari hari ke hari semakin memucat, asupan gizi untuk wanita hamil yang seharusnya diperhatikan, malah dikorbankan. Dari kedua matanya mengalir butiran air yang dibiarkan saja meleleh membasahi pipinya. Lelah lahir batin, itu yang dirasakannya. pandangannya terasa gelap dan ………wanita itu ambruk dengan kepala membentur pompa air.
Ohhhh… Suminah yang malang, tahukah kau suamimu sedang mengalami puber kedua. Semua perubahannya untuk menarik perhatian perempuan lain yang lebih licin, seksi dan pokoknya secara jasmaniah melebihimu. Tapi Suminah yang malang, kebodohan suamimu itu harus ditebus mahal dengan kehilanganmu dan calon anaknya.
“Semoga bebanmu terlepas di alam sana, wahai wanita terjajah. Biarkan bebanmu diambil alih dengan penyesalan suamimu atas kebodohannya”
*****
0 komentar:
Posting Komentar